Marantau Bujang dahulu di kampuang paguno balun, nampaknya pepatah tersebut betul-betul dihayati oleh generasi muda Saningbaka. Sampai saat ini jumlah penduduk Saniangbaka yang berada diperantauan jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang berdomisili di kampuang. Kampuang semakin hari semakin lengang, dikarenakan begitu derasnya arus urbanisasi, terutama remaja pria yang beranjak dewasa. Mereka pergi merantau untuk mencoba meraih peruntungan dalam menggapai masa depan yang lebih baik. Sedangkan bagi remaja putri, mayoritas dari mereka yang pergi merantau dikarenakan mendapat jodoh pemuda perantau.
Kultur Saniangbaka yang menganggap tabu apabila laki-laki kawin dengan perempuan dari luar Saniangbaka merupakan salah satu faktor yang mendorong peningkatan jumlah perantau muda. Karena bagi mereka yang sudah berhasil di rantau dan punya keinginan untuk menikah, oleh orang tuanya akan dicarikan jodohnya di kampung. Kalau dikampung mereka-mereka ini diistilahkan dengan “bawang jawa”, karena memang pada umumnya warga Saniangbaka merantau ke Pulau Jawa.
Penyebaran perantau Saniangbaka boleh dikatakan tidak merata, mayoritas mereka terkonsentrasi di Pulau Jawa, sedangkan untuk daerah lain seperti di kota-kota besar yang ada di Sumatera,jumlah perantau kita tidak mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau dilihat dari peluang usaha yang biasanya dijadikan indikator untuk mendiami suatu daerah, Pulau Sumatera tidaklah kalah menjanjikan dibandingkan dengan Pulau Jawa. Kondisi ini sangat berbeda dengan perantau dari negeri “jiran”, Sulit Air, dimana penyebaran perantau mereka cukup merata pada setiap sudut kota-kota besar dan kecil yang ada di Sumatera maupun Jawa.
Jabotabek dan Bandung sampai saat ini masih menjadi primadona bagi urang awak dalam hal tujuan merantau, jumlah warga Saniangbaka di dua kota ini cukup banyak jumlahnya, pasar tradisional merupakan lahan utama tempat mereka berusaha mencari nafkah. Sangat mudah kita menemukan Saudara kita di pasar-pasar tradisional baik yang ada di pusat kota bahkan sampai ke pelosok sekalipun. Sebagian besar dari mereka mempunyai jenis usaha (galeh) yang seragam. Umumnya mereka manggaleh plastik dan jamu.
Ketidakmerataan penyebaran perantau kita sangat dipengaruhi oleh sifat mereka yang berduyun-duyun mencari tampek di suatu daerah apabila ada salah satu dari mereka yang berhasil disana, disamping pertambahan jumlah perantau dari tahun ke tahun. Akibatnya semakin mempersempit lahan untuk berjualan, sehingga tingkat persaingan semakin tinggi, lahan usaha semakin sulit untuk didapatkan, bahkan dibeberapa pasar jumlah mereka sudah sangat banyak dengan jenis usaha yang sama, seperti di Pasar Sederhana, Padalarang, Cimahi, Kosambi untuk daerah Bandung, Pasar Cakung, Klender, Mayestik, Kranji, Cibitung, Tambun untuk daerah Jabotabek.
Akhir-akhir ini terjadi pergeseran arah perantau Saniangbaka, banyak diantara mereka yang memindahkan usahanya ke kota lain. Kondisi ini banyak terjadi pada perantau yang ada di kota Bandung, mulai menipisnya peluang usaha di pasar-pasar tradisional, begitupun dengan usaha jamu yang akhir-akhir ini hanya mengandalkan minuman keras, ditambah lagi larangan berdagang kaki lima (yang selama ini menjadi alternatif), seperti larangan untuk berjualan di Jl. Gadawijaya Cimahi, membuat mereka mulai berfikir bagaimana mencari lahan baru untuk mencari peruntungan.
Semarang dan Jogjakarta (dan sekitarnya) merupakan daerah yang paling banyak dituju oleh perantau kita, terutama mereka yang berasal dari Bandung. Kedua daerah ini bukan daerah baru bagi perantau kita, karena sebelum ini warga Saniangbaka sudah lama dan banyak yang berdomisili disini. Akan tetapi jumlah mereka tidak mengalami pertambahan yang signifikan seperti yang terjadi di Jabotabek dan Bandung. Perkembangan yang begitu pesat justru terjadi dalam 5 tahun terakhir ini, seiring dengan terjadinya krisis seperti yang diceritakan diatas.
Kalau ditinjau dari segi jenis usaha para perantau yang pindah kedaerah Semarang dan Jogjakarta (dan sekitarnya) ini, terdapat perbedaan yang begitu mendasar. (1) Semarang dan sekitarnya, untuk daerah ini sebagian besar mereka yang pindah tersebut membuka usaha Jamu, mereka ini pada umumnya merupakan pindahan dari Bandung. Karena memang untuk Kota Bandung jumlah toko jamu yang ada jumlahnya cukup banyak, hampir setiap persimpangan dihiasi dengan lampu kuning Nyonya Meneer yang merupakan tanda bagi keberadaan toko jamu. Kondisi yang terjadi di Semarang ini sangat cocok, kalau kita kaitkan dengan sifat perantau kita yg cenderung “bagaduru” ketempat Saudara mereka yang berhasil di suatu daerah, dimana pada awalnya usaha jamu warga Saniangbaka ini dirintis oleh beberapa orang warga kita yang pindah dari Bandung. Setelah melihat keberhasilan mereka, perlahan-lahan warga kita yang berada di Bandung dan Jabotabek mulai berdatangan kedaerah ini. (2) Jogjakarta dan sekitarnya, kota ini sudah tidak asing lagi bagi urang awak, di kota yang dikenal dengan sebutan kota pelajar dan identik dengan Malioboro ini, para perantau kita terkenal dengan usaha rumah makan, rumah makan urang awak yang terkenal di kota ini adalah RM. Andalas, Duta Minang, dan banyak lainnya. Sesuai dengan pendahulunya mayoritas perantau kita yang akhir-akhir ini pindah ke kota ini membuka usaha rumah makan, baik dengan skala besar, maupun sekelas rumah makan keluarga. Walaupun ada yang membuka usaha lain seperti jamu dan plastik tapi jumlah mereka tidak begitu banyak dibandingkan dengan rumah makan.
Melihat fenomena dua daerah diatas tidak salah rasanya kalau kita simpulkan bahwa sampai saat ini pola perantau kita belum mengalami perubahan yang cukup berarti, mereka lebih cenderung mengikut para pendahulu mereka yang sudah berhasil di suatu daerah dan membuka jenis usaha yang sma, sehingga persaingan justru terjadi antar sesama mereka. Sehingga sangat terbuka peluang untuk terjadi gesekan-gesekan yang disebabkan oleh persaingan usaha.
Diperlukan adanya terobosan-terobosan baru dalam mencari peluang usaha dan memilih jenis usaha. Walaupun telah terjadi perpindahan yang cukup besar ke daerah baru, tapi kalau masih memakai pola lama kondisinya tidak akan jauh berbeda dengan sebelumnya (Bandung). Dimana mereka lebih cenderung berkelompok dengan jenis usaha yang sama. Kalau masih seperti ini keberadaan mereka tidak akan bertahan lama. Hingga mencapai titik jenuh, akan terjadi lagi perpindahan dalam jumlah yang cukup besar kedaerah yang baru, bahkan bisa saja terjadi mudik besar-besaran.
Monday, November 27, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment