Monday, November 27, 2006

MARANTAU ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Marantau saat ini sudah menjadi salah satu cita-cita bagi sebagian remaja Saniangbaka. Banyak yang memilih pergi merantau dari pada melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, akibatnya banyak remaja Saniangbaka yang putus sekolah.

Kapai kama ang satamat SMA ko Yuang?, pertanyaan yang sering ditanyakan oleh orang tua di kampuang kepada anaknya yang akan tamat SMA. “den kapai marantau ka Jawa,” begitulah jawaban yang jamak dijawab oleh si-anak. Ya, itulah kondisi yang berkembang dalam 15 tahun belakangan ini di Nagari Saniangbaka. Begitupun dengan orang tua, banyak yang lebih suka anaknya merantau dari pada melanjutkan pendidikan “kuliah ka kuliah se pangana ang mah, rancak marantau lai jaleh hasil e, kok kuliah tu maabihan pitih mah, karajo alun tantu dapek lai,” ucapan itu sering disampaikan oleh orang tua di kampung untuk menyuruh anaknya pergi merantau.
Merantau menjadi sebuah harapan yang menjanjikan bagi generasi muda, karena banyaknya warga Saniangbaka yang berhasil diperantauan. Kiriman dana-pun tak henti-hentinya mengalir, baik untuk sanak keluarga maupun untuk pembangunan rumah ibadah, pendidikan, dlsb. Simak saja ketika bulan ramadhan tiba, hampir setiap surau atau-pun mesjid mendapat kiriman dana baik itu berupa infak, sedekah, ataupun zakat. Puncaknya dapat kita lihat ketika shalat rayo, dimana infak atau sedekah begitu deras mengalir, mayoritas berasal dari dunsanak dirantau. Jutaan dana terkumpul hanya dalam tempo + 30 menit. Semua itu belum termasuk kiriman dana rutin setiap bulannya pada hari-hari biasa.
Rumah-rumah nan lah lapuk dimakan rayap, kini lah baganti jo bangunan permanen. Nan dulu biasa kasawah bajalan kaki, kini kasawah lah naik onda/ojek. Dulu nasi rang sawah diantaan urang rumah, kini lah babali di lapau. Ka Jawa kini lah co ka Solok se urang awak. Kapa tabang nan dulu hanyo nampak dibalik awan kini lah bisa mambao awak ka ateh awan.
Singkat kata perantau sudah memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perekonomian nagari begitu juga terhadap cara hidup dan pola pikir masyarakat. Bagi generasi muda di kampuang merantau merupakan sebuah pilihan hidup yang sangat menjanjikan dibandingkan melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Tidak mengherankan, saat ini banyak remaja Saniangbaka yang putus sekolah dan pergi merantau, mayoritas dari mereka memilih Pulau Jawa sebagai tujuan utama, karena memang disanalah perantau Saniangbaka terkonsentrasi.
Ketika ditanya alasan mereka tidak melanjutkan pendidikan, sebagian besar dari mereka menjadikan faktor ekonomi sebagai alasan, disamping angin rantau yang begitu kencang berhembus melenakan mereka. Padahal ada sebagian dari mereka yang berasal dari keluarga mampu. Bahkan ada yang berprestasi di sekolah, baik di tingkat SMP, maupun SMA, tapi sayang bakat mereka tidak tersalurkan dengan baik karena mereka lebih memilih pergi merantau.
Yang jadi pertanyaan sekarang adalah, “apakah kondisi dirantau sama dengan apa yang dibayangkan orang-orang di kampuang?,” ini sangat penting untuk dibahas dan dijelaskan, karena selama ini banyak dari mereka yang beranggapan bahwa dirantau pitih sangat mudah didapat, atau sebagian orang mengistilahkan dirantau seolah-olah pitih bisa dikawik se, tapi tantangan-tantangan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dirantau tidak pernah terbayangkan.
Dulu merantau dipandang mudah karena sambutan Saudara dirantau terhadap perantau muda sangat baik. “Yuang waang lalok selah disiko lu samantaro dicari aka atau bantu-bantu se dipasa lu sambia baraja,” atau diagih modal manggaleh kaki 5. Banyak cara yang dilakukan untuk mendidik generasi muda, ditambah lagi dengan tingkat persaingan yang belum cukup tinggi. Ibaratnya, dengan modal samek jo pinjaik salusin se awak lah bisa hiduik dirantau. Tapi sekarang keadaan sudah jauh berubah, nilai-nilai persaudaraan sudah mulai memudar, tingkat persaingan hidup sudah semakin tinggi, untuk mencari lokasi manggaleh saja sangat susah. Betapa banyak perantau nan talambuang pulang kampuang karena tidak mampu menghadapi kesulitan hidup dirantau, atau ada pula yang disuntik tiok sabanta se dari kampuang, belum lagi pengangguran terselubung yang jumlahnya semakin hari bertambah banyak dan sebagian besar dari mereka adalah para remaja usia produktif. Yang lebih ironis lagi adalah tidak sedikit dari mereka yang terjerumus kejurang Narkoba, baik itu sebagai pengedar maupun pemakai, mereka sudah menghalalkan segala cara untuk dapat bertahan hidup dirantau.
Memang tidak sedikit pula warga kita yang berhasil dirantau, tapi semua itu diraih tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebagian besar dari mereka yang berhasil diawali dengan perjuangan yang sangat berat. Banyak yang memulai dari bawah, dengan melewati rintangan yang cukup berat dan ditopang oleh tekad yang kuat untuk berhasil. Kok manggaleh kaki 5 tiok sabanta dikaja-kaja Tibum, mujua kalau selamat bisa masuk gang biapun galeh baserak-serak, malangnyo galeh jo garobak-garobak diangkek petugas. Kalau lai bajua bali lai bisa makan, tapi kalau indak pokok nan tamakan. Ado pulo nan manggaleh ikuik urang lain atau dunsanak walaupun alah batahun-tahun bakarajo indak dapek gaji, hari abih pitih indak dapek. Kalau nan lai batoko dipasa indak saketek pulo tantangannyo. Subuh katiko urang masih bakalumun jo salimuik awak lah barangkek kapasa, talambek saketek langganan bapindah kaurang lain, pulang karumah lah malam, berlangsung tiap hari tanpa ada hari libur. Bak kata pepatah “berakit-rakit kehulu berenang renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian,” iyo basuoan e dirantau.
Selama ini semua kenyataan itu luput dari perhatian kita semua dan seolah-olah terpinggirkan oleh nyanyian-nyanyian keberhasilan hidup dirantau, sehingga banyak dari remaja yang baru merantau tidak siap menghadapi kenyataan tersebut. Mengingat kondisi hidup dirantau yang semakin hari semakin sulit sedangkan arus urbanisasi dari kampuang selalu meningkat, yang sebagian besar adalah remaja putus sekolah, atau yang memilih berhenti sekolah karena ingin merantau. Perlu menjadi perhatian kita bersama untuk mengatasi permasalahan ini. Pada saat ini remaja kita dirantau banyak yang menjadi pengangguran terselubung. Dikatakan terselubung karena keberadaan mereka sulit dilacak karena sebagian dari mereka hidup nomaden (selalu berpindah-pindah) dari Saudara yang satu ke saudara yang lain, atau dari kawan ke kawan, bahkan bolak-balik ke kampung. Bagi mereka yang mempunyai Dunsanak/Saudara yang hidupnya sudah mapan, mungkin masih bisa bertahan, bagi yang tidak bisa jadi “talambuang” pulang kampung.
Bagi para perantau generasi sebelum tahun 1990, kesulitan-kesulitan tersebut tidak menjadi halangan yang berarti, dikarenakan sebagian besar dari mereka pergi merantau bermodalkan tekad yang kuat untuk berhasil dikarenakan kepahitan hidup dikampuang, mereka sudah terbiasa bekerja keras dikampung untuk dapat bertahan hidup. Berbeda dengan generasi muda sekarang, sebagian besar dari mereka sudah terbiasa hidup manja, dengan hidup serba ada, biaya sekolah dan kebutuhan sehari-hari dikirim oleh sanak saudara dari rantau, sedangkan kesulitan hidup dirantau tidak pernah disampaikan. Akibatnya mereka selalu membayangkan untuk dapat merantau dan berhasil seperti Saudara mereka. Tetapi kenyataannya tidak seperti apa yang mereka bayangkan, hidup di kota besar membutuhkan perjuangan yang sangat keras untuk dapat memenangkan persaingan, “kalau indak mangakeh awak indak makan, pai subuh pulang malam,” begitulah istilah nan dipakai kalau hidup dirantau, hampir tidak ada waktu untuk istirahat, apalagi untuk bauru-uru sarupo dikampuang.
Tak bisa dipungkiri, selama ini perantau memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pembangunan nagari, mereka diibaratkan sebagai pahlawan devisa bagi nagari. Sehingga memacu semangat generasi muda untuk dapat mengikuti jejak Saudara-Saudara mereka yang sudah berhasil dirantau. Kondisi ini merupakan suatu dorongan yang sangat bagus bagi mereka. Tetapi ada hal yang tidak boleh kita lupakan, cerita-cerita keberhasilan tersebut harus kita bingkai dengan faktor-faktor pendukung dalam mencapai keberhasilan tersebut, serta tantangan-tantangan yang dihadapi dalam meraihnya. Kesulitan-kesulitan hidup diatas harus dijelaskan, untuk memacu mereka mempersiapkan bekal yang cukup untuk pergi merantau.
Semua itu dikarenakan mereka tidak mempunyai bekal yang cukup untuk pergi merantau, satu-satunya modal yang mereka bawa adalah keinginan untuk manggaleh, sedangkan peluang untuk membuka usaha makin lama makin sulit. Oleh karena itu perlu menjadi perhatian kita semua untuk mengatasi masalah ini. Bagi tokoh masyarakat dikampuang perlu mencari solusi yang cerdas dalam mengatasi permasalahan ini dengan merancang strategi baru, bagaimana generasi muda dipersiapkan untuk merantau, dan siap berkompetisi dalam menghadapinya kerasnya kehidupan diperantauan.
Perlu dilakukan pemberdayaan ekonomi nagari, dengan membuka lapangan kerja, berupa peluang-peluang usaha yang berbasis nagari, seperti kerajinan sulaman dan bordir, penggemukan sapi, perkebunan, dlsb. Khusus untuk perkebunan kita mempunyai lahan tidur yang sangat luas, yang kalau dimanfaatkan akan sangat besar manfaatnya untuk meningkatkan perekonomian nagari, dan meningkatkan kesejahtearan masyarakat.
Fasilitas yang sudah ada akan sangat bermanfaat apabila disinergikan dengan dukungan dana dari perantau berupa saham atau modal, sehingga terbuka lapangan kerja baru bagi masyarakat dikampuang, dan akan dapat menghambat arus urbanisasi di nagari Saniangbaka, bahkan kalau bisa warga yang ada dirantau ditarik pulang untuk bersama-sama membangun nagari.

No comments: