Pendekatan kekeluargaan yang dilakukan oleh pengurus dan guru merupakan resep yang sangat ampuh untuk memotivasi siswa untuk lebih giat belajar.
Pendidikan Saniangbaka akhir-akhir ini mengalami kemunduran. Prestasi besar yang diraih para pelajar kita di sekolah-sekolah negeri baik di Singkarak, maupun di Kota Solok perlahan-lahan mulai meredup. Ditengah kekeringan prestasi tersebut muncul sedikit harapan dari Kampung Baru Tanjung Guci, tempat dimana sekolah MAM berada. Ditandai dengan banyak alumni mereka yang kuliah di Perguruan Tinggi Negeri yang ada di Kota Padang, bahkan sebagian besar dari mereka menjadi pengurus inti IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah) wilayah Sumbar.
Berbekal informasi tersebut, sehari setelah hari raya Idul Adha 1427 H, penulis mencoba mewancarai Bapak Afliza Kamal, I.Ph, S.Ag Kepala Sekolah MAM di Balai Gadang. Urang Sumando Balamansiang yang biasa dipanggil Pak AF ini ketika penulis temui sedang istirahat dirumahnya setelah sehari sebelumnya mengisi ceramah Idul Adha di Kota Gelamai (Payakumbuh).
MAM sendiri didirikan pada tahun 1994, dan menghasilkan lulusan perdana pada tahun 1997. sampai saat ini MAM talah meluluskan sebanyak 122 orang siswa. Kalau dilihat dari segi kuantitas (jumlah) lulusan masih sedikit memang, karena rata-rata jumlah lulusan mereka hanya 15 orang pertahun. Kondisi ini disebabkan oleh randahnya minat warga kita untuk sekolah di MAM. Sebagai informasi tambahan rata-rata jumlah siswa asli Saniangbaka yang sekolah di MAM setiap tahunnya tidak lebih dari 50 %. Padahal dari segi kualitas mereka memiliki prestasi yang sangat mencengangkan. Ternyata semua alumni MAM yang kuliah di Padang 100 % diterima di Perguruan Tinggi Negeri (IAIN, Unand, UNP) melalui jalur PMDK (diterima tanpa tes), sedangkan rata-rata lulusan yang diterima di perguruan tinggi melalui jalur PMDK + 47,5 % / tahun (data selengkapnya lihat tabel). Hasil ini merupakan prestasi yang cukup membanggakan, dan sulit ditemukan sekolah negeri maupun swasta yang mampu meluluskan siswanya menyamai prestasi yang telah mereka torehkan. Padahal mayoritas dari mereka berasal dari keluarga tidak mampu yang sudah pasti minim dari segi fasilitas.
Tabel Porsentasi Jumlah Lulusan MAM yang Diterima di PMDK
Tahun Ajaran
Jumlah Lulusan
Jumlah Diterima PMDK
Porsentase (%)
1997/1998
15
7
46,67
1998/1999
14
5
35,71
1999/2000
17
7
41,18
2000/2001
15
8
53,33
2001/2002
14
6
42,86
2002/2003
15
7
46,67
2003/2004
20
8
40,00
2004/2005
12
10
83,33
Jumlah
122
58
47,54
Sumber: MAM Saniangbaka Tahun 2006
Keberhasilan yang telah dicapai tidak terlepas komitmen yang kuat dari semua unsur yang ada di sekolah, mulai dari pengurus, guru, serta murid untuk memajukan pendidikan Saniangbaka. Pendekatan kekeluargaan dari guru dan pengurus kepada siswa merupakan resep yang sangat ampuh dalam memotivasi siswa untuk belajar ditambah lagi dengan bimbingan dalam mengatasi berbagai permasalahan sehari-hari. Situasi seperti sulit kita temukan disekolah-sekolah negeri. Sebagian besar dari guru saat ini beranggapan bahwa tugas mereka sebagai guru hanya terbatas kepada pencapaian target SKS yang dibebankan kepada mereka, tanggung mereka sebagai pendidik baik didalam maupun diluar kelas sudah mulai terabaikan, sehingga siswa begitu mudah kehilangan arah dan terlibat berbagai perilaku menyimpang.
Sangat disayangkan prestasi yang telah mereka capai belum mampu menarik minat warga di kampung untuk menyekolahkan anaknya di MAM, mereka lebih cenderung menyekolahkan anaknya ke luar (Singkarak atau Solok) walaupun untuk itu mereka mengeluarkan biaya yang cukup besar dengan hasil yang belum tentu sesuai dengan yang diharapkan. Pola pikir orang tua maupun anak yang lebih mementingkan prestise (sanjungan) dibandingkan prestasi merupakan salah satu faktor penghambat bagi kelansungan pendidikan Saniangbaka saat ini. Seperti yang disampaikan oleh Atrizon, S.Pd (Sekretaris LAPENSRA) yang sekarang mengajar di SMEA Negeri Solok, bahwasanya apa yang didapat oleh anak-anak yang sekolah di Solok tidak memberikan manfaat yang berarti bagi mereka, mereka hanya terbuai dengan nama besar bisa sekolah di Solok dan mengambil jurusan yang kesannya begitu wahhh tapi hasil yang didapat sangat jauh dari harapan.
Aktif di Organisasi
Salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan sarjana asal Saniangbaka dalam memasuki dunia kerja adalah kelemahan mereka dalam berorganisasi, padahal seperti kita ketahui organisasi merupakan salah garansi untuk memasuki dunia kerja, pengalaman dalam berorgansasi merupakan salah satu faktor penunjang diterimanya seseorang untuk bekerja. Para ahli mengibaratkan mereka yang aktif di organisasi berarti telah melangkahkan sebelah kakinya kedunia kerja.
Rata-rata lulusan MAM aktif dalam berorganisasi, setiap tahun alumninya selalu diterima menjadi pengurus inti IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah) Wilayah Sumatera Barat. Bahkan mayoritas pimpinan IRM Sumbar saat ini merupakan alumni MAM Saniangbaka. Kondisi ini menjadikan MAM sebagai salah satu pusat pengkaderan Muhammadiyah Sumatera Barat. MAM setiap tahun pasti ditunjuk mengadakan kegiatan Muhammadiyah yang berskala wilayah Sumbar, bahkan pernah kegitan wilayah yang diadakan di MAM dihadiri oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah.
Untuk daerah Solok dan sekitarnya dalam 3 tahun terakhir ini MAM selalu menjadi tujuan diadakannya Pesantren Kilat bagi sekolah-sekolah negeri seperti SMA 4 Solok, SMP 3 dan SMP 4 Solok. Dalam acara tersebut Pematerinya adalah guru MAM sedangkan yang menjadi instruktur/pelatih adalah siswa MAM sendiri. Ini sungguh membanggakan dimana mereka sudah mempu menjadi instruktur untuk anak-anak yang setingkat dengan mereka (SLTA).
Solusi Atas Mahalnya Biaya Pendidikan
Dalam Seminar “Menuju Saniangbaka Menjadi Nagari Pendidikan” yang diadakan tahun lalu, dimana saat itu disampaikan bahwa mahalnya biaya pendidikan merupakan salah satu faktor penghambat perkembangan pendidikan saat ini. Ternyata untuk pendidikan menengah kebawah mahalnya biaya sekolah tidak menjadi kendala bagi masyarakat Saniangbaka, karena kita mempunyai sekolah swasta yang murni dibiaya oleh swadaya masyarakat dikampung maupun perantauan, seperti MTsM dan MAM.
MAM sebagai sekolah swasta tidak membebankan biaya yang besar kepada siswanya seperti sekolah swasta pada umumnya, mereka hanya menarik uang SPP Rp. 18.000/bln ditambah dengan iuran kesehatan Rp. 2.000/bln. Sedangkan uang pembangunan hanya Rp. 50.000/th. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sekolah negeri yang rata-rata SPP nya melebihi Rp. 50.000/bln. Bahkan untuk uang masuk saja, seperti di SMKN Solok mencapai Rp. 600.000.
Minimnya biaya semakin tidak dirasakan dengan adanya berbagai beasiswa, seperti (1) Bebas uang sekolah 1 semester untuk Juara Umum; (2) BKM dari pemerintah sebesar Rp. 150.000/org/6 bulan untuk 9 orang; (3) Orang tua asuh yang membiayai seluruh kebutuhan sekolah sebanyak 6 orang dari Gubalo Bangunan; (4) Bantuan lain berupa tambahan yang sifatnya tidak rutin.
Dengan berbagai kemudahan tersebut sangat tidak bijak kalau kita masih menjadikan mahalnya biaya sebagai alasan untuk tidak melanjutkan pendidikan anak. Kondisi ini tentu tidak berlaku bagi mereka yang sekolah keluar, karena untuk ongkos sehari-hari saja mereka mengeluarkan biaya yang cukup besar. Seperti yang disampaikan oleh Pak Afliza, biaya yang dikeluarkan oleh mereka yang sekolah keluar tersebut seharusnya bisa menutupi kebutuhan hidup keluarga mereka sehari-hari.
Rata-rata siswa MAM berasal dari keluarga yang tidak mampu, sehingga mereka kesulitan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Untuk mengatasi permasalahan ini Pengurus MAM mencarikan solusinya dengan (1) memberikan informasi kepada orang tua sebelum kuliah; (2) dibantu mencarikan biaya (orang tua asuh); (3) kontrakan bersama, yang biayanya disubsidi/dibantu oleh sekolah, guru, dan alumni; (4) bantuan yang sifatnya tidak terikat; (5) bagi yang berminat tinggal di masjid/mushalla akan dibantu mencarikannya.
Dari keterangan diatas dapat kita lihat bahwasanya pembinaan terhadap siswa tidak hanya terbatas sampai mereka lulus saja, tapi berlanjut sampai ke perguruan tinggi. Mereka betul-betul dibimbing dan dibantu mulai dari pemilihan jurusan, mencarikan orang tua asuh, pekerjaan, tempat tinggal. Ikatan alumni terjalin dengan baik. Alumni yang sudah lebih dahulu kuliah bertanggung jawab terhadap adik-adik mereka yang baru masuk.
Embrio Nagari Pendidikan
Salah satu tujuan dari dibentuk Lembaga Pendidikan Saniangbaka (LAPENSRA) adalah bagaimana menjadikan Saniangbaka sebagai tujuan pendidikan, dengan arti kata berusaha menarik minat orang dari luar untuk sekolah di Saniangbaka. Tanpa kita sadari ternyata MAM sudah merintisnya semenjak didirikan. Sampai saat ini + 60 % siswa MAM berasal dari luar Saniangbaka. Tentu kita sangat berharap jumlah mereka bertambah setiap tahunnya seiring dengan pertambahan jumlah siswa yang sekolah di MAM.
Dengan banyaknya siswa dari luar yang sekolah di kampuang akan sangat menguntungkan bagi kita. Seperti yang dikatakan oleh Pak Af, dari segi ekonomi kehadiran mereka akan sangat menguntungkan bagi kita. Bagaimanapun juga seluruh kebutuhan hidupnya akan dibeli di lapau-lapau yang ada di kampuang. Mereka juga pasti akan menggunakan angkot Saniangbaka (jumlah penumpang meningkat). Secara tidak langsung siswa luar tersebut juga akan menjadi duta pendidikan bagi Saniangbaka. Keramahan, kenyamanan dan keamanan yang mereka dapatkan akan membuat mereka betah untuk sekolah di Kampuang, kondisi ini sudah pasti akan di informasikannya kepada rekan-rekannya yang lain. Sebaliknya kalau mereka sudah merasa tidak nyaman dan keamanan mereka terancam jangankan untuk mendatangkan orang lain, siswa yang sudah ada pun akan pindah ke sekolah lain.
Diakhir pembicaraan ada sedikit harapan yang disampaikan oleh Pak Af, diantaranya adalah (1) MAM saat ini sangat mengharapkan adanya perhatian dari pihak nagari terhadap keamanan sekolah, bukan berarti selama ini nagari tidak memperhatikan, tapi saat ini masih terjadi gangguan-gangguan terhadap fasilitas yang ada di MAM, seperti terjadinya kebakaran terhadap gedung sekolah pada acara School Meeting tahun 2005 yang lalu, dengan kata lain kita sangat berharap adanya rasa memiliki seluruh unsur masyarakat Saniangbaka terhadap MAM; (2) Untuk meningkatkan jumlah siswa dari luar, diperlukan pelayanan yang lebih baik, sebagaimana layaknya kita melayani tamu yang berkunjung kerumah kita; (3) sentimen kedaerahan yang selama ini masih ada, sudah seharusnya dikikis habis. Siapapaun yang berbuat untuk kemajuan Saniangbaka, dari manapun asalnya sudah seharusnya kita dukung, sebab prestasi yang mereka capai sudah pasti mengharumkan nama Saniangbaka. Sudah saatnya kita berfikir bagaimana Saniangbaka ke depan. Sentimen kedaerahan ataupun kelompok akan membuat kita selalu tertinggal karena kita tidak mau membuka diri dan terbuai dengan masa lalu yang tidak mungkin akan terulang kembali, tanpa adanya usaha dari kita semua untuk memperbaiki diri.
Untuk menjamin kelangsungan pendidikan di MAM diperlukan dukungan dari segenap unsur masyarakat yang ada baik di kampung maupun di perantauan, sebagaimana firman Allah SWT “Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS 5:2).
Prestasi yang di raih sudah sepatutnya mendapat penghargaan dari kita semua. Jangan sampai prestasi besar yang telah dirintis ini hilang karena ketiadaan siswa. Permasalahan mendasar yang dihadapi saat ini adalah kurangnya minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di MAM, hanya dikarenakan kurangnya informasi yang didapat oleh masyarakat mengenai kondisi MAM yang sebenarnya. Untuk itu bagi pihak MAM sendiri tentu harus lebih lebih membuka diri dengan berbaur dengan semua unsur yang ada di masyarakat dan lebih giat dalam mensosialisasikan program-program yang ada serta prestasi yang telah diraih selama ini, agar dugaan-dugaan negatif yang ada di masyarakat terhadap MAM bisa diredam.
Monday, November 27, 2006
OJEK MASUK KAMPUANG
Di masa-masa sulit seperti sekarang ini menjadi Tukang Ojek merupakan salah satu solusi yang paling banyak diminati oleh masyarakat untuk mencari nafkah.
Belakangan ini ada pemandangan yang sedikit berbeda dari biasanya yang kita temui ketika kita sampai di Pasar Sumani yang merupakan pintu gerbang utama menuju nagari Saniangbaka, di setiap persimpangan sekarang sudah berdiri pangkalan-pangkalan ojek, tidak terkecuali di simpang jalan menuju Saniangbaka/ Paninggahan.
Ojek sekarang sudah menjadi alat transportasi jarak dekat yang paling efektif bagi masyarakat. Para pemuda dikampuang maupun perkotaan banyak yang beralih profesi menjadi tukang ojek. Seiring dengan murahnya uang muka (DP) dan persyaratan untuk kredit motor, masyarakat beramai-ramai membeli motor. Hanya dengan uang muka Rp. 500.000,- kita sudah bisa membawa pulang motor baru. Bahkan motor bekas tarikanpun dikreditkan kembali.
Seolah tidak mau ketinggalan, para pemuda Saniangbaka-pun mulai berangsur-angsur beralih profesi menjadi tukang ojek dengan trayek Saniangbaka-Sumani. Walaupun pada awalnya mereka sedikit “ogah” menjadi pengojek tapi lama kelamaan jumlah mereka semakin lama semakin banyak.
Sebagian besar dari mereka hanya menjadi pengojek musiman, artinya mereka hanya mengojek pada hari balai (minggu), sedangkan yang rutin hanya sedikit. Perbedaan penghasilan antara hari Minggu dan hari biasa memang sangat jauh. Pada hari Minggu mereka bisa mendapatkan penghasilan bersih antara Rp. 50.000-80.000 sehari. Sedangkan untuk hari biasa tidak lebih dari Rp. 30.000 sehari. Kondisi ini yang membuat mereka hanya menjadikan mengojek sebagai profesi sampingan.
Selintas lalu lintas ojek memang terlihat begitu ramai di kampuang. Ramainya ojek yang melintas tersebut, sebagian besar merupakan ojek dari Paninggahan, sedangkan urang awak hanya sedikit yang menjadikan ojek sebagai mata pencaharian utama mereka.
Kehadiran ojek disatu sisi sangat menguntungkan bagi masyarakat, karena selain cepat juga tarifnya relatif murah. Hanya dengan modal Rp. 2.000.- dari Sumani kita diantar langsung ke alamat begitu juga sebaliknya. Bagi dunsanak dirantau yang pulang kampuang, kalau sampai tengah malam di Sumani tidak perlu lagi menunggu mobil sampai pagi karena ojek stand by 24 jam disana.
Disisi lain keberadaan ojek sering menimbulkan polemik, terutama dikalangan sopir angkut, dibeberapa daerah sering terjadi konflik antara ojek dengan angkot, tekait dengan masalah rebutan penumpang, dalam hal ini sudah barang pasti yang dirugikan adalah sopir angkot. Kondisi ini juga terjadi di Kampuang yang berujung dengan mogoknya sopir oto selama satu hari. Ketegangan akhirnya mencair setelah diadakannya musyawarah antara perwakilan ojek dengan PASB (Persatuan Awak Sopir Saniangbaka) yang menghasilkan beberapa butir kesepakatan, diantaranya adalah (1) ongkos ojek tidak boleh sama dengan ongkos angkot (harus lebih mahal); (2) ojek tidak boleh mengambil penumpang ditempat mangkal angkot. Dengan adanya kesepakatan ini ketegangan akhirnya mencair. Kita seharusnya merasa bangga dengan cara yang ditempuh oleh Saudara kita dalam menyelesaikan masalah banagari. Cara-cara elegan seperti ini yang harus terus kita pelihara ketika kita sedang ditimpa masalah.
Permasalahan lain yang terkait dengan keberadaan ojek adalah, rawannya terjadi kecelakaan, karena ada oknum-oknum ojek yang suka ugal-ugalan dalam mengejar setoran tanpa memperhatikan keselamatan penumpang. Untuk mengantisipasi hal tersebut para pemuda dikampuang berinisiatif membangun tanggul ditempat-tempat keramaian mulai dari Lapau Kincia sampai ka Kapalo Labuh. Kehadiran polisi tidur itu memang sedikit menggangu bagi pengendara, tapi harap dimaklumi semua itu bertujuan untuk menghindari anak kemenakan kita dari kecelakaan lalulintas.
Belakangan ini ada pemandangan yang sedikit berbeda dari biasanya yang kita temui ketika kita sampai di Pasar Sumani yang merupakan pintu gerbang utama menuju nagari Saniangbaka, di setiap persimpangan sekarang sudah berdiri pangkalan-pangkalan ojek, tidak terkecuali di simpang jalan menuju Saniangbaka/ Paninggahan.
Ojek sekarang sudah menjadi alat transportasi jarak dekat yang paling efektif bagi masyarakat. Para pemuda dikampuang maupun perkotaan banyak yang beralih profesi menjadi tukang ojek. Seiring dengan murahnya uang muka (DP) dan persyaratan untuk kredit motor, masyarakat beramai-ramai membeli motor. Hanya dengan uang muka Rp. 500.000,- kita sudah bisa membawa pulang motor baru. Bahkan motor bekas tarikanpun dikreditkan kembali.
Seolah tidak mau ketinggalan, para pemuda Saniangbaka-pun mulai berangsur-angsur beralih profesi menjadi tukang ojek dengan trayek Saniangbaka-Sumani. Walaupun pada awalnya mereka sedikit “ogah” menjadi pengojek tapi lama kelamaan jumlah mereka semakin lama semakin banyak.
Sebagian besar dari mereka hanya menjadi pengojek musiman, artinya mereka hanya mengojek pada hari balai (minggu), sedangkan yang rutin hanya sedikit. Perbedaan penghasilan antara hari Minggu dan hari biasa memang sangat jauh. Pada hari Minggu mereka bisa mendapatkan penghasilan bersih antara Rp. 50.000-80.000 sehari. Sedangkan untuk hari biasa tidak lebih dari Rp. 30.000 sehari. Kondisi ini yang membuat mereka hanya menjadikan mengojek sebagai profesi sampingan.
Selintas lalu lintas ojek memang terlihat begitu ramai di kampuang. Ramainya ojek yang melintas tersebut, sebagian besar merupakan ojek dari Paninggahan, sedangkan urang awak hanya sedikit yang menjadikan ojek sebagai mata pencaharian utama mereka.
Kehadiran ojek disatu sisi sangat menguntungkan bagi masyarakat, karena selain cepat juga tarifnya relatif murah. Hanya dengan modal Rp. 2.000.- dari Sumani kita diantar langsung ke alamat begitu juga sebaliknya. Bagi dunsanak dirantau yang pulang kampuang, kalau sampai tengah malam di Sumani tidak perlu lagi menunggu mobil sampai pagi karena ojek stand by 24 jam disana.
Disisi lain keberadaan ojek sering menimbulkan polemik, terutama dikalangan sopir angkut, dibeberapa daerah sering terjadi konflik antara ojek dengan angkot, tekait dengan masalah rebutan penumpang, dalam hal ini sudah barang pasti yang dirugikan adalah sopir angkot. Kondisi ini juga terjadi di Kampuang yang berujung dengan mogoknya sopir oto selama satu hari. Ketegangan akhirnya mencair setelah diadakannya musyawarah antara perwakilan ojek dengan PASB (Persatuan Awak Sopir Saniangbaka) yang menghasilkan beberapa butir kesepakatan, diantaranya adalah (1) ongkos ojek tidak boleh sama dengan ongkos angkot (harus lebih mahal); (2) ojek tidak boleh mengambil penumpang ditempat mangkal angkot. Dengan adanya kesepakatan ini ketegangan akhirnya mencair. Kita seharusnya merasa bangga dengan cara yang ditempuh oleh Saudara kita dalam menyelesaikan masalah banagari. Cara-cara elegan seperti ini yang harus terus kita pelihara ketika kita sedang ditimpa masalah.
Permasalahan lain yang terkait dengan keberadaan ojek adalah, rawannya terjadi kecelakaan, karena ada oknum-oknum ojek yang suka ugal-ugalan dalam mengejar setoran tanpa memperhatikan keselamatan penumpang. Untuk mengantisipasi hal tersebut para pemuda dikampuang berinisiatif membangun tanggul ditempat-tempat keramaian mulai dari Lapau Kincia sampai ka Kapalo Labuh. Kehadiran polisi tidur itu memang sedikit menggangu bagi pengendara, tapi harap dimaklumi semua itu bertujuan untuk menghindari anak kemenakan kita dari kecelakaan lalulintas.
MARANTAU ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
Marantau saat ini sudah menjadi salah satu cita-cita bagi sebagian remaja Saniangbaka. Banyak yang memilih pergi merantau dari pada melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, akibatnya banyak remaja Saniangbaka yang putus sekolah.
Kapai kama ang satamat SMA ko Yuang?, pertanyaan yang sering ditanyakan oleh orang tua di kampuang kepada anaknya yang akan tamat SMA. “den kapai marantau ka Jawa,” begitulah jawaban yang jamak dijawab oleh si-anak. Ya, itulah kondisi yang berkembang dalam 15 tahun belakangan ini di Nagari Saniangbaka. Begitupun dengan orang tua, banyak yang lebih suka anaknya merantau dari pada melanjutkan pendidikan “kuliah ka kuliah se pangana ang mah, rancak marantau lai jaleh hasil e, kok kuliah tu maabihan pitih mah, karajo alun tantu dapek lai,” ucapan itu sering disampaikan oleh orang tua di kampung untuk menyuruh anaknya pergi merantau.
Merantau menjadi sebuah harapan yang menjanjikan bagi generasi muda, karena banyaknya warga Saniangbaka yang berhasil diperantauan. Kiriman dana-pun tak henti-hentinya mengalir, baik untuk sanak keluarga maupun untuk pembangunan rumah ibadah, pendidikan, dlsb. Simak saja ketika bulan ramadhan tiba, hampir setiap surau atau-pun mesjid mendapat kiriman dana baik itu berupa infak, sedekah, ataupun zakat. Puncaknya dapat kita lihat ketika shalat rayo, dimana infak atau sedekah begitu deras mengalir, mayoritas berasal dari dunsanak dirantau. Jutaan dana terkumpul hanya dalam tempo + 30 menit. Semua itu belum termasuk kiriman dana rutin setiap bulannya pada hari-hari biasa.
Rumah-rumah nan lah lapuk dimakan rayap, kini lah baganti jo bangunan permanen. Nan dulu biasa kasawah bajalan kaki, kini kasawah lah naik onda/ojek. Dulu nasi rang sawah diantaan urang rumah, kini lah babali di lapau. Ka Jawa kini lah co ka Solok se urang awak. Kapa tabang nan dulu hanyo nampak dibalik awan kini lah bisa mambao awak ka ateh awan.
Singkat kata perantau sudah memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perekonomian nagari begitu juga terhadap cara hidup dan pola pikir masyarakat. Bagi generasi muda di kampuang merantau merupakan sebuah pilihan hidup yang sangat menjanjikan dibandingkan melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Tidak mengherankan, saat ini banyak remaja Saniangbaka yang putus sekolah dan pergi merantau, mayoritas dari mereka memilih Pulau Jawa sebagai tujuan utama, karena memang disanalah perantau Saniangbaka terkonsentrasi.
Ketika ditanya alasan mereka tidak melanjutkan pendidikan, sebagian besar dari mereka menjadikan faktor ekonomi sebagai alasan, disamping angin rantau yang begitu kencang berhembus melenakan mereka. Padahal ada sebagian dari mereka yang berasal dari keluarga mampu. Bahkan ada yang berprestasi di sekolah, baik di tingkat SMP, maupun SMA, tapi sayang bakat mereka tidak tersalurkan dengan baik karena mereka lebih memilih pergi merantau.
Yang jadi pertanyaan sekarang adalah, “apakah kondisi dirantau sama dengan apa yang dibayangkan orang-orang di kampuang?,” ini sangat penting untuk dibahas dan dijelaskan, karena selama ini banyak dari mereka yang beranggapan bahwa dirantau pitih sangat mudah didapat, atau sebagian orang mengistilahkan dirantau seolah-olah pitih bisa dikawik se, tapi tantangan-tantangan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dirantau tidak pernah terbayangkan.
Dulu merantau dipandang mudah karena sambutan Saudara dirantau terhadap perantau muda sangat baik. “Yuang waang lalok selah disiko lu samantaro dicari aka atau bantu-bantu se dipasa lu sambia baraja,” atau diagih modal manggaleh kaki 5. Banyak cara yang dilakukan untuk mendidik generasi muda, ditambah lagi dengan tingkat persaingan yang belum cukup tinggi. Ibaratnya, dengan modal samek jo pinjaik salusin se awak lah bisa hiduik dirantau. Tapi sekarang keadaan sudah jauh berubah, nilai-nilai persaudaraan sudah mulai memudar, tingkat persaingan hidup sudah semakin tinggi, untuk mencari lokasi manggaleh saja sangat susah. Betapa banyak perantau nan talambuang pulang kampuang karena tidak mampu menghadapi kesulitan hidup dirantau, atau ada pula yang disuntik tiok sabanta se dari kampuang, belum lagi pengangguran terselubung yang jumlahnya semakin hari bertambah banyak dan sebagian besar dari mereka adalah para remaja usia produktif. Yang lebih ironis lagi adalah tidak sedikit dari mereka yang terjerumus kejurang Narkoba, baik itu sebagai pengedar maupun pemakai, mereka sudah menghalalkan segala cara untuk dapat bertahan hidup dirantau.
Memang tidak sedikit pula warga kita yang berhasil dirantau, tapi semua itu diraih tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebagian besar dari mereka yang berhasil diawali dengan perjuangan yang sangat berat. Banyak yang memulai dari bawah, dengan melewati rintangan yang cukup berat dan ditopang oleh tekad yang kuat untuk berhasil. Kok manggaleh kaki 5 tiok sabanta dikaja-kaja Tibum, mujua kalau selamat bisa masuk gang biapun galeh baserak-serak, malangnyo galeh jo garobak-garobak diangkek petugas. Kalau lai bajua bali lai bisa makan, tapi kalau indak pokok nan tamakan. Ado pulo nan manggaleh ikuik urang lain atau dunsanak walaupun alah batahun-tahun bakarajo indak dapek gaji, hari abih pitih indak dapek. Kalau nan lai batoko dipasa indak saketek pulo tantangannyo. Subuh katiko urang masih bakalumun jo salimuik awak lah barangkek kapasa, talambek saketek langganan bapindah kaurang lain, pulang karumah lah malam, berlangsung tiap hari tanpa ada hari libur. Bak kata pepatah “berakit-rakit kehulu berenang renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian,” iyo basuoan e dirantau.
Selama ini semua kenyataan itu luput dari perhatian kita semua dan seolah-olah terpinggirkan oleh nyanyian-nyanyian keberhasilan hidup dirantau, sehingga banyak dari remaja yang baru merantau tidak siap menghadapi kenyataan tersebut. Mengingat kondisi hidup dirantau yang semakin hari semakin sulit sedangkan arus urbanisasi dari kampuang selalu meningkat, yang sebagian besar adalah remaja putus sekolah, atau yang memilih berhenti sekolah karena ingin merantau. Perlu menjadi perhatian kita bersama untuk mengatasi permasalahan ini. Pada saat ini remaja kita dirantau banyak yang menjadi pengangguran terselubung. Dikatakan terselubung karena keberadaan mereka sulit dilacak karena sebagian dari mereka hidup nomaden (selalu berpindah-pindah) dari Saudara yang satu ke saudara yang lain, atau dari kawan ke kawan, bahkan bolak-balik ke kampung. Bagi mereka yang mempunyai Dunsanak/Saudara yang hidupnya sudah mapan, mungkin masih bisa bertahan, bagi yang tidak bisa jadi “talambuang” pulang kampung.
Bagi para perantau generasi sebelum tahun 1990, kesulitan-kesulitan tersebut tidak menjadi halangan yang berarti, dikarenakan sebagian besar dari mereka pergi merantau bermodalkan tekad yang kuat untuk berhasil dikarenakan kepahitan hidup dikampuang, mereka sudah terbiasa bekerja keras dikampung untuk dapat bertahan hidup. Berbeda dengan generasi muda sekarang, sebagian besar dari mereka sudah terbiasa hidup manja, dengan hidup serba ada, biaya sekolah dan kebutuhan sehari-hari dikirim oleh sanak saudara dari rantau, sedangkan kesulitan hidup dirantau tidak pernah disampaikan. Akibatnya mereka selalu membayangkan untuk dapat merantau dan berhasil seperti Saudara mereka. Tetapi kenyataannya tidak seperti apa yang mereka bayangkan, hidup di kota besar membutuhkan perjuangan yang sangat keras untuk dapat memenangkan persaingan, “kalau indak mangakeh awak indak makan, pai subuh pulang malam,” begitulah istilah nan dipakai kalau hidup dirantau, hampir tidak ada waktu untuk istirahat, apalagi untuk bauru-uru sarupo dikampuang.
Tak bisa dipungkiri, selama ini perantau memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pembangunan nagari, mereka diibaratkan sebagai pahlawan devisa bagi nagari. Sehingga memacu semangat generasi muda untuk dapat mengikuti jejak Saudara-Saudara mereka yang sudah berhasil dirantau. Kondisi ini merupakan suatu dorongan yang sangat bagus bagi mereka. Tetapi ada hal yang tidak boleh kita lupakan, cerita-cerita keberhasilan tersebut harus kita bingkai dengan faktor-faktor pendukung dalam mencapai keberhasilan tersebut, serta tantangan-tantangan yang dihadapi dalam meraihnya. Kesulitan-kesulitan hidup diatas harus dijelaskan, untuk memacu mereka mempersiapkan bekal yang cukup untuk pergi merantau.
Semua itu dikarenakan mereka tidak mempunyai bekal yang cukup untuk pergi merantau, satu-satunya modal yang mereka bawa adalah keinginan untuk manggaleh, sedangkan peluang untuk membuka usaha makin lama makin sulit. Oleh karena itu perlu menjadi perhatian kita semua untuk mengatasi masalah ini. Bagi tokoh masyarakat dikampuang perlu mencari solusi yang cerdas dalam mengatasi permasalahan ini dengan merancang strategi baru, bagaimana generasi muda dipersiapkan untuk merantau, dan siap berkompetisi dalam menghadapinya kerasnya kehidupan diperantauan.
Perlu dilakukan pemberdayaan ekonomi nagari, dengan membuka lapangan kerja, berupa peluang-peluang usaha yang berbasis nagari, seperti kerajinan sulaman dan bordir, penggemukan sapi, perkebunan, dlsb. Khusus untuk perkebunan kita mempunyai lahan tidur yang sangat luas, yang kalau dimanfaatkan akan sangat besar manfaatnya untuk meningkatkan perekonomian nagari, dan meningkatkan kesejahtearan masyarakat.
Fasilitas yang sudah ada akan sangat bermanfaat apabila disinergikan dengan dukungan dana dari perantau berupa saham atau modal, sehingga terbuka lapangan kerja baru bagi masyarakat dikampuang, dan akan dapat menghambat arus urbanisasi di nagari Saniangbaka, bahkan kalau bisa warga yang ada dirantau ditarik pulang untuk bersama-sama membangun nagari.
Kapai kama ang satamat SMA ko Yuang?, pertanyaan yang sering ditanyakan oleh orang tua di kampuang kepada anaknya yang akan tamat SMA. “den kapai marantau ka Jawa,” begitulah jawaban yang jamak dijawab oleh si-anak. Ya, itulah kondisi yang berkembang dalam 15 tahun belakangan ini di Nagari Saniangbaka. Begitupun dengan orang tua, banyak yang lebih suka anaknya merantau dari pada melanjutkan pendidikan “kuliah ka kuliah se pangana ang mah, rancak marantau lai jaleh hasil e, kok kuliah tu maabihan pitih mah, karajo alun tantu dapek lai,” ucapan itu sering disampaikan oleh orang tua di kampung untuk menyuruh anaknya pergi merantau.
Merantau menjadi sebuah harapan yang menjanjikan bagi generasi muda, karena banyaknya warga Saniangbaka yang berhasil diperantauan. Kiriman dana-pun tak henti-hentinya mengalir, baik untuk sanak keluarga maupun untuk pembangunan rumah ibadah, pendidikan, dlsb. Simak saja ketika bulan ramadhan tiba, hampir setiap surau atau-pun mesjid mendapat kiriman dana baik itu berupa infak, sedekah, ataupun zakat. Puncaknya dapat kita lihat ketika shalat rayo, dimana infak atau sedekah begitu deras mengalir, mayoritas berasal dari dunsanak dirantau. Jutaan dana terkumpul hanya dalam tempo + 30 menit. Semua itu belum termasuk kiriman dana rutin setiap bulannya pada hari-hari biasa.
Rumah-rumah nan lah lapuk dimakan rayap, kini lah baganti jo bangunan permanen. Nan dulu biasa kasawah bajalan kaki, kini kasawah lah naik onda/ojek. Dulu nasi rang sawah diantaan urang rumah, kini lah babali di lapau. Ka Jawa kini lah co ka Solok se urang awak. Kapa tabang nan dulu hanyo nampak dibalik awan kini lah bisa mambao awak ka ateh awan.
Singkat kata perantau sudah memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perekonomian nagari begitu juga terhadap cara hidup dan pola pikir masyarakat. Bagi generasi muda di kampuang merantau merupakan sebuah pilihan hidup yang sangat menjanjikan dibandingkan melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Tidak mengherankan, saat ini banyak remaja Saniangbaka yang putus sekolah dan pergi merantau, mayoritas dari mereka memilih Pulau Jawa sebagai tujuan utama, karena memang disanalah perantau Saniangbaka terkonsentrasi.
Ketika ditanya alasan mereka tidak melanjutkan pendidikan, sebagian besar dari mereka menjadikan faktor ekonomi sebagai alasan, disamping angin rantau yang begitu kencang berhembus melenakan mereka. Padahal ada sebagian dari mereka yang berasal dari keluarga mampu. Bahkan ada yang berprestasi di sekolah, baik di tingkat SMP, maupun SMA, tapi sayang bakat mereka tidak tersalurkan dengan baik karena mereka lebih memilih pergi merantau.
Yang jadi pertanyaan sekarang adalah, “apakah kondisi dirantau sama dengan apa yang dibayangkan orang-orang di kampuang?,” ini sangat penting untuk dibahas dan dijelaskan, karena selama ini banyak dari mereka yang beranggapan bahwa dirantau pitih sangat mudah didapat, atau sebagian orang mengistilahkan dirantau seolah-olah pitih bisa dikawik se, tapi tantangan-tantangan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dirantau tidak pernah terbayangkan.
Dulu merantau dipandang mudah karena sambutan Saudara dirantau terhadap perantau muda sangat baik. “Yuang waang lalok selah disiko lu samantaro dicari aka atau bantu-bantu se dipasa lu sambia baraja,” atau diagih modal manggaleh kaki 5. Banyak cara yang dilakukan untuk mendidik generasi muda, ditambah lagi dengan tingkat persaingan yang belum cukup tinggi. Ibaratnya, dengan modal samek jo pinjaik salusin se awak lah bisa hiduik dirantau. Tapi sekarang keadaan sudah jauh berubah, nilai-nilai persaudaraan sudah mulai memudar, tingkat persaingan hidup sudah semakin tinggi, untuk mencari lokasi manggaleh saja sangat susah. Betapa banyak perantau nan talambuang pulang kampuang karena tidak mampu menghadapi kesulitan hidup dirantau, atau ada pula yang disuntik tiok sabanta se dari kampuang, belum lagi pengangguran terselubung yang jumlahnya semakin hari bertambah banyak dan sebagian besar dari mereka adalah para remaja usia produktif. Yang lebih ironis lagi adalah tidak sedikit dari mereka yang terjerumus kejurang Narkoba, baik itu sebagai pengedar maupun pemakai, mereka sudah menghalalkan segala cara untuk dapat bertahan hidup dirantau.
Memang tidak sedikit pula warga kita yang berhasil dirantau, tapi semua itu diraih tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebagian besar dari mereka yang berhasil diawali dengan perjuangan yang sangat berat. Banyak yang memulai dari bawah, dengan melewati rintangan yang cukup berat dan ditopang oleh tekad yang kuat untuk berhasil. Kok manggaleh kaki 5 tiok sabanta dikaja-kaja Tibum, mujua kalau selamat bisa masuk gang biapun galeh baserak-serak, malangnyo galeh jo garobak-garobak diangkek petugas. Kalau lai bajua bali lai bisa makan, tapi kalau indak pokok nan tamakan. Ado pulo nan manggaleh ikuik urang lain atau dunsanak walaupun alah batahun-tahun bakarajo indak dapek gaji, hari abih pitih indak dapek. Kalau nan lai batoko dipasa indak saketek pulo tantangannyo. Subuh katiko urang masih bakalumun jo salimuik awak lah barangkek kapasa, talambek saketek langganan bapindah kaurang lain, pulang karumah lah malam, berlangsung tiap hari tanpa ada hari libur. Bak kata pepatah “berakit-rakit kehulu berenang renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian,” iyo basuoan e dirantau.
Selama ini semua kenyataan itu luput dari perhatian kita semua dan seolah-olah terpinggirkan oleh nyanyian-nyanyian keberhasilan hidup dirantau, sehingga banyak dari remaja yang baru merantau tidak siap menghadapi kenyataan tersebut. Mengingat kondisi hidup dirantau yang semakin hari semakin sulit sedangkan arus urbanisasi dari kampuang selalu meningkat, yang sebagian besar adalah remaja putus sekolah, atau yang memilih berhenti sekolah karena ingin merantau. Perlu menjadi perhatian kita bersama untuk mengatasi permasalahan ini. Pada saat ini remaja kita dirantau banyak yang menjadi pengangguran terselubung. Dikatakan terselubung karena keberadaan mereka sulit dilacak karena sebagian dari mereka hidup nomaden (selalu berpindah-pindah) dari Saudara yang satu ke saudara yang lain, atau dari kawan ke kawan, bahkan bolak-balik ke kampung. Bagi mereka yang mempunyai Dunsanak/Saudara yang hidupnya sudah mapan, mungkin masih bisa bertahan, bagi yang tidak bisa jadi “talambuang” pulang kampung.
Bagi para perantau generasi sebelum tahun 1990, kesulitan-kesulitan tersebut tidak menjadi halangan yang berarti, dikarenakan sebagian besar dari mereka pergi merantau bermodalkan tekad yang kuat untuk berhasil dikarenakan kepahitan hidup dikampuang, mereka sudah terbiasa bekerja keras dikampung untuk dapat bertahan hidup. Berbeda dengan generasi muda sekarang, sebagian besar dari mereka sudah terbiasa hidup manja, dengan hidup serba ada, biaya sekolah dan kebutuhan sehari-hari dikirim oleh sanak saudara dari rantau, sedangkan kesulitan hidup dirantau tidak pernah disampaikan. Akibatnya mereka selalu membayangkan untuk dapat merantau dan berhasil seperti Saudara mereka. Tetapi kenyataannya tidak seperti apa yang mereka bayangkan, hidup di kota besar membutuhkan perjuangan yang sangat keras untuk dapat memenangkan persaingan, “kalau indak mangakeh awak indak makan, pai subuh pulang malam,” begitulah istilah nan dipakai kalau hidup dirantau, hampir tidak ada waktu untuk istirahat, apalagi untuk bauru-uru sarupo dikampuang.
Tak bisa dipungkiri, selama ini perantau memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pembangunan nagari, mereka diibaratkan sebagai pahlawan devisa bagi nagari. Sehingga memacu semangat generasi muda untuk dapat mengikuti jejak Saudara-Saudara mereka yang sudah berhasil dirantau. Kondisi ini merupakan suatu dorongan yang sangat bagus bagi mereka. Tetapi ada hal yang tidak boleh kita lupakan, cerita-cerita keberhasilan tersebut harus kita bingkai dengan faktor-faktor pendukung dalam mencapai keberhasilan tersebut, serta tantangan-tantangan yang dihadapi dalam meraihnya. Kesulitan-kesulitan hidup diatas harus dijelaskan, untuk memacu mereka mempersiapkan bekal yang cukup untuk pergi merantau.
Semua itu dikarenakan mereka tidak mempunyai bekal yang cukup untuk pergi merantau, satu-satunya modal yang mereka bawa adalah keinginan untuk manggaleh, sedangkan peluang untuk membuka usaha makin lama makin sulit. Oleh karena itu perlu menjadi perhatian kita semua untuk mengatasi masalah ini. Bagi tokoh masyarakat dikampuang perlu mencari solusi yang cerdas dalam mengatasi permasalahan ini dengan merancang strategi baru, bagaimana generasi muda dipersiapkan untuk merantau, dan siap berkompetisi dalam menghadapinya kerasnya kehidupan diperantauan.
Perlu dilakukan pemberdayaan ekonomi nagari, dengan membuka lapangan kerja, berupa peluang-peluang usaha yang berbasis nagari, seperti kerajinan sulaman dan bordir, penggemukan sapi, perkebunan, dlsb. Khusus untuk perkebunan kita mempunyai lahan tidur yang sangat luas, yang kalau dimanfaatkan akan sangat besar manfaatnya untuk meningkatkan perekonomian nagari, dan meningkatkan kesejahtearan masyarakat.
Fasilitas yang sudah ada akan sangat bermanfaat apabila disinergikan dengan dukungan dana dari perantau berupa saham atau modal, sehingga terbuka lapangan kerja baru bagi masyarakat dikampuang, dan akan dapat menghambat arus urbanisasi di nagari Saniangbaka, bahkan kalau bisa warga yang ada dirantau ditarik pulang untuk bersama-sama membangun nagari.
PENDIDIKAN ANAK NAGARI DAN SEGALA PERMASALAHANNYA
Saat ini Saniangbaka telah mempunyai sebuah lembaga pendidikan, yang diberi nama Lembaga Peduli Pendidikan Saniangbaka Nan Sejahtera (LAPPENSRA), lembaga ini nantinya bertugas membenahi masalah pendidikan anak nagari Saniangbaka. Pembentukan lembaga ini merupakan tindak lanjut dari seminar sehari pada tanggal 17 Agustus 2005, yang bertema Menuju Saniangbaka Menjadi Nagari Pendidikan, hal ini menandakan keseriusan pihak nagari untuk membenahi masalah pendidikan Saniangbaka, sekaligus menandakan terjadinya perubahan arah pembangunan nagari, dari pembangunan infrastruktur kearah pembangunan sumber daya manusia.
Gebrakan ini termasuk luar biasa dan bernilai strategis, dimana ditengah keterpurukan pendidikan Sumatera Barat, apalagi dengan maraknya kasus ijazah bodong (palsu) Saniangbaka tampil kepermukan dengan membenahi sektor pendidikan. Walaupun masih terbatas untuk nagari Saniangbaka, kalau ditindaklanjuti dengan langkah-langkah yang konkrit gerakan ini akan menjadi lokomotif bagi nagari-nagari lain dalam menggerakkan sektor pendidikan di Kab. Solok khususnya dan Sumatera Barat secara keseluruhan.
Pada saat ini prestasi pendidikan Saniangbaka cenderung mengalami penurunan yang cukup drastis, ditandai dengan minimnya prestasi yang diraih putra-putri Saniangbaka dibidang pendidikan. Begitu juga dengan sarjananya yang kesuiltan menembus dunia kerja, sangat sedikit dari mereka yang berkiprah di pemerintahan maupun di instansi-instansi swasta, sehingga banyak yang banting stir jadi pedagang. Ini merupakan sinyal bagi kita untuk segera membenahi masalah pendidikan anak nagari kita.
Untuk membenahi kompleksnya permasalahan pendidikan Saniangbaka. Ada banyak hal yang perlu segera dibenahi, mulai dari rendahnya komitmen masyarakat sampai kepada masalah biaya pendidikan yang semakin hari semakin bertambah tinggi. Menurut hemat penulis secara garis besar masalah pendidikan kontemporer(terkini) di nagari Saniangbaka dapat dikelompokkan kedalam 2 pokok permasalahan :
1. Pendidikan Dasar Menengah
Untuk pendidikan dasar menengah Saniangbaka mempunyai reputasi yang cukup bagus di Kab. Solok, ditandai dengan seringnya putra-putri Saniangbaka meraih juara umum di tingkat SMP ataupun SMA Penulis masih ingat dari awal tahun 1980 s/d awal tahun 1990, sangat banyak putra-putri Saniangbaka yang berhasil masuk sekolah-sekolah favorit di Kota Solok.Bahkan ada diantara mereka yang meraih juara umum disekolah, diantaranya adalah Arif Fadillah , Zulheldi yang berjaya di awal tahun 1980-an, Linda Asmara, Roy Mikhel, Ira, Hengki, generasi tahun 1990-an,dan banyak lagi yang lainnya. Tapi semua itu hanya tinggal kenangan karena belakangan ini prestasi pendidikan kita terus menurun. Kalau kita cermati ada beberapa permasalahan yang menyebabkan kemerosotan pendidikan Saniangbaka di tingkat dasar menengah ini, yaitu
a. Rendahnya kesadaran orang tua akan arti penting pendidikan bagi anak mereka.
Bagi sebagian orang tua pendidikan anak bukan lagi menjadi prioritas utama. Mereka lebih mendukung anak mereka pergi merantau ketimbang melanjutkan pendidikan. Sehingga motivasi yang diberikan kepada anak untuk belajar jauh berkurang. Seperti keluhan beberapa orang guru di kampung, bahwasanya “untuk membayar uang minyak satekong bareh, atau uang sakola 5000 sabulan se indak ado pitih rah, tapi kalau untuk atau mamasang togel atau bajudi pitih ndak susah kalua e rah,” kondisi ini yang menyebabkan kemauan dan semangat belajar anak jauh menurun.
b. Kurangnya pengawasan terhadap proses pendidikan anak, sangat sedikit orang tua yang peduli terhadap pendidikan anaknya. Sebagian besar orang tua tidak mau tahu apakah anaknya sudah mendapat pendidikan yang layak atau tidak disekolah, bagi mereka kalau sudah menyerahkan anak ke sekolah, pendidikan anak mereka sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru di sekolah. Sehingga pengawasan terhadap sekolah jadi berkurang, begitu juga dengan pihak pengelola nagari yang kurang memanfaatkan pelimpahan wewenang yang diberikan Pemerintah Daerah ke Pemerintahan Nagari untuk melakukan pengawasan terhadap sekolah-sekolah yang ada. Sehingga kita tidak mengetahui kondisi permasalahan yang terjadi di setiap sekolah yang ada, seperti contoh saat ada salah seorang oknum guru sekolah dasar di kampung yang selalu datang terlambat, bahkan sering tidak datang kesekolah, kalaupun datang keberadaannya tidak memberikan teladan yang baik kepada anak-anak kita dan itu sudah berlangsung selama + 20 tahun, tanpa ada seorang-pun dari Pemerintah Nagari/Pemuka Masyarakat maupun wali murid yang mempermasalahkannya. Jadi wajar kalau prestasi anak-anak kita cenderung menurun dikarenakan kurang nya perhatian kita terhadap pendidikan anak.
c. Sarana dan prasarana tidak terkelola dengan baik, kita sungguh beruntung memiliki banyak pilihan untuk menyekolahkan anak-anak kita, dengan banyaknya sekolah didalam nagari mulai dari tingkat SD s/d SMA, baik itu negeri maupun swasta. Sekarang tinggal bagaimana kita memanfaatkan secara maksimal fasilitas-fasilitas tersebut untuk menunjang pendidikan anak-anak kita. untuk sekolah swasta kita mempunyai MTsM, dan MAM dimana keduanya merupakan sekolah berbasis Muhammadiyah yang dibiaya dengan swadaya masyarakat, baik yang ada di kampung maupun di perantauan. Keduanya memiliki prestasi yang cukup bagus dan patut dibanggakan, seperti kita ketahui tahun lalu MTsM berhasil meraih NEM tertinggi di Kab. Solok untuk tingkat SLTP, sedangkan MAM tiap tahun siswa nya diterima diperguruan tinggi negeri melalui jalur PMDK, bahkan tahun 2005 kemarin 11 dari 15 siswanya yang lulus diterima melalui jalur PMDK. Disamping itu mereka juga menyediakan beasiswa bagi mereka yang kurang mampu, salah satunya dengan sistem orang tua asuh. Dengan adanya beasiswa tersebut secara tidak langsung sudah mampu mengatasi permasalahan mahalnya biaya pendidikan yang selama ini dikeluhkan oleh orang tua murid. Tetapi sayangnya prestasi yang diraih dan fasilitas yang mereka tawarkan kurang mendapat apresiasi dari masyarakat, terbukti dengan sangat sedikit dari anak-anak kita yang memanfaatkan fasilitas tersebut, mereka lebih cenderung sekolah keluar, dengan kualitas didikan boleh dikatakan tidak lebih baik dari yang ada di kampung, bahkan fasilitas tersebut lebih banyak dimanfaatkan oleh siswa dari luar Saniangbaka. Sebagian dari warga kita lebih mengutamakan gengsi daripada kualitas, sehingga wajar saja muncul keluhan dari sebagian besar masyarakat akan mahalnya biaya pendidikan. Selain kurangnya apresiasi dari masyarakat, sekolah-sekolah yang ada terkesan berjalan sendiri-sendiri, tanpa ada koordinasi diantara mereka. Alangkah lebih bermanfaatnya semua unsur pendidikan yang ada saling bekerjasama dalam membangun pendidikan anak nagari, dengan menghilangkan perbedaan, sehingga membentuk sebuah sinergi yang nantinya akan mengkristal menjadi sebuah kekuatan dalam bentuk pendidikan berbasis nagari.
d. Kreatifitas anak tidak berkembang dengan baik, Salah satu pilar pendidikan yang ditetapkan UNESCO (1996), adalah belajar untuk menguasai keterampilan (learning to do). Dewasa ini keterampilan sangat dibutuhkan untuk menopang kehidupan seseorang, bahkan keterampilan bisa lebih dominan daripada penguasaan ilmu pengetahuan dalam mendukung keberhasilan hidup seseorang. Salah satu permasalahan mendasar yang dihadapi oleh generasi muda Saniangbaka saat ini adalah kurangnya keterampilan (life skill). Permasalahan ini muncul karena kurangnya sarana dan prasarana untuk menyalurkan minat dan bakat, sehingga mereka cenderung bertindak negatif, dan tidak sedikit yang terjerumus ke jurang Narkoba. Arah pembangunan nagari yang belakangan ini lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur turut menjadi penyebabnya. Betapa banyak remaja Saniangbaka yang menjadi penganguran terselubung dirantau, semua itu disebabkan karena mereka tidak memiliki keterampilan yang dibawa kerantau selain manggaleh, sehingga mereka kalah berkompetisi dalam menghadapi kerasnya persaingan hidup di kota besar. Mereka tidak punya bekal yang cukup untuk pergi merantau, karena memang kita tidak membekali mereka dengan keterampilan sejak dini.
e. Derasnya pengaruh rantau, merantau sudah menjadi salah satu cita-cita bagi generasi muda Saniangbaka, cucuran dana yang tidak henti-hentinya mengalir ke kampung membuat mereka terbuai dengan pesona yang ditebarkan dunsanak-dunsanak yang pulang dari rantau. Bahkan orang tua banyak yang lebih menginginkan anaknya pergi merantau dari pada melanjutkan pendidikan. Tamat SMA merupakan batas maksimal garansi pendidikan bagi anak-anak mereka, setelah itu mereka akan menyarankan anaknya untuk pergi merantau. Sugesti tentang indahnya hidup dirantau sudah dihembuskan kepada anak-anak mereka semenjak kecil, akibatnya sianak menjadi malas belajar, karena angan-angan untuk merantau sudah begitu kuat mempengaruhinya, sehingga banyak anak-anak yang putus sekolah (tidak tamat SMA), dan pergi merantau. Dapat kita bayangkan bagaimana minimnya modal yang mereka bawa untuk mengadu nasib dirantau. Berkaca dari permasalahan tersebut, wajar bila banyak remaja kita yang gagal diperantauan.
2. Perguruan Tinggi
Sampai saat ini Saniangbaka memiliki cukup banyak sarjana, baik lulusan perguruan tinggi negeri, maupun swasta. Untuk Kota Padang saja rata-rata dalam satu tahun meluluskan + 20 orang sarjana asal Saniangbaka. Dari sekian banyak lulusan tersebut, sangat sedikit dari mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka, bahkan lebih banyak yang memilih pergi merantau untuk mencari kerja, yang ujung-ujungnya mereka akhirnya manggaleh juga.
Kondisi yang demikian semakin memperkuat asumsi masyarakat dikampung bahwasanya merantau lebih menjanjikan dari pada melanjutkan pendidikan. Seperti yang jamak dikatakan orang tua kepada anaknya, bahwasanya kuliah hanya akan menghabiskan waktu dan uang saja. Ujung-ujungnya setelah tamat nanti pasti manggaleh dirantau. Kalau biaya kuliah itu dijadikan modal untuk manggaleh, dalam jangka waktu 5 tahun akan menghasilkan keuntungan yang sangat besar. Sugesti inilah yang menyebabkan mereka enggan menyekolahkan anak mereka tinggi-tinggi.
Berkaca dari aktifitas mahasiswa kita yang ada di Kota Padang, menurut hemat penulis, ada beberapa faktor yang menyebabkan kenapa para sarjana asal Saniangbaka banyak yang gagal memasuki dunia kerja, diantaranya adalah:
a. Salah memilih jurusan
Banyak mahasiswa Saniangbaka yang tidak paham dengan jurusan yang mereka ambil, sebagian besar dari mereka baru menyadari ketika sudah kuliah beberapa semester. Sebagai contoh dalam 10 tahun terakhir ini untuk Universitas Andalas Padang, mahasiswa asal Saniangbaka banyak yang kuliah di Fakultas Pertanian. Setiap tahun ajaran baru siswa Saniangbaka selalu ada yang diterima di Fakultas tersebut. Bukan bermaksud menyepelekan Fakultas Pertanian, tidak, karena sampai saat ini dari sekian banyak mahasiswa tersebut ketika ditanya “kenapa memilih fakultas pertanian,” sebagian mereka tidak mampu menjawab dengan pasti tujuan mereka memilih jurusan tersebut, begitu juga denga lulusannya sampai saat ini banyak yang menganggur atau banting stir jadi pedagang. Kenyataan tersebut diatas tidak bisa kita salahkan,karena memang sampai saat ini tidak ada satu lembaga-pun yang memandu calon mahasiswa asal Saniangbaka memilih jurusan di Perguruan tinggi, baik itu IPPSB, ataupun para tokoh pendidikan yang ada di kampung. Akibatnya bakat mereka tidak tersalurkan dengan baik, sehingga mereka kuliah tidak sungguh-sungguh . Mudah-mudahan hal ini bisa menjadi bagian dari program kerja LAPPENSRA.
b. Mahalnya Biaya Kuliah
Biaya kuliah yang tinggi merupakan momok yang paling menakutkan bagi orang tua dalam menguliahkan anaknya. dalam kondisi sulit seperti sekarang ini dimana biaya hidup makin hari makin bertambah tinggi, pendidikan menjadi barang yang mahal, apalagi bagi mereka yang ekonominya yang pas-pasan. Mereka berfikir dua kali untuk melanjutkan pendidikan anaknya ke perguruan tinggi. Sampai saat di Saniangbaka belum ada beasiswa yang khusus diperuntukkan bagi anak yang kurang mampu yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, bantuan masih terbatas sampai sekolah menengah. Wacana ini sudah sering mengemuka, termasuk dalam acara silaturahmi antara pemuka masyarakat dengan IPPSB Padang setahun yang lalu di Fakultas Kedokteran Unand, tapi realisasinya belum nampak sampai sekarang. Saat ini prestasi pendidikan Saniangbaka diibaratkan lado mati pucuk, prestasi bagus yang diraih para pelajar kita hanya sampai tingkat sekolah menengah setelah itu hilang dari peredaran dikarenakan tidak adanya biaya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi negeri, sehingga mereka lebih memilih pergi merantau.
Sebenarnya tingginya biaya kuliah bisa diminimalisir dengan tekad yang kuat untuk berhasil, banyak peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan oleh para mahasiswa untuk dapat meringankan biaya hidup sehari-hari, ditambah lagi dengan banyaknya beasiswa yang ditawarkan bagi mereka yang tidak mampu,baik oleh lembaga pemerintah maupun swasta. Sebut saja namanya Daspan, mahasiswa Unand yang berasal dari Bengkulu mampu memenuhi kebutuhannya sehari-hari dengan rajin menulis artikel, dan mengirimkannya ke media massa atau zulham yang menjual roti pada pagi hari sebelum berangkat kuliah, atau Amin yang bekerja sambil kuliah, untuk membiayai kuliahnya dan memenuhi nafkah keluarganya. Banyak orang-orang sukses yang bekerja sambil kuliah, mereka berhasil karena memiliki tekad dan kemauan yang untuk menjadi orang besar, seperti Menteri BUMN Sugiharto, yang membiayai sekolahnya dengan menjadi tukang parkir, Budiman, S.Ag. anggota DPRD Kota Padang, yang membiayai kuliahnya dengan menjadi garin mesjid, atau contoh yang lebih dekat, Abel Tasman, S.Sos. yang semenjak kuliah sudah aktif menulis dimedia massa baik lokal maupun nasional, mereka mampu memenuhi sendiri kebutuhan hidupnya. Pada akhirnya mereka berhasil di dunia kerja, karena ketika masih kuliah mereka sudah terbiasa menaklukkan kerasnya tantangan hidup, sehingga setelah tamat mereka tidak terlalu bergantung lagi kepada ijazahnya, karena mereka sudah mengetahui jalur-jalur mana yang akan mereka tempuh menuju masa depan.
c. Kurangnya tekad untuk menjadikan pendidikan sebagai modal untuk meraih masa depan
Saat ini terjadi kemenduaan pada diri mahasiswa kita, antara kuliah dan merantau. Akibatnya ketika kuliah mereka berfikir bahwasanya, kalaupun setelah tamat kuliah mereka gagal mendapatkan pekerjaan, masih ada alternatif lain yang lebih menjanjikan bagi masa depan mereka, yaitu pergi merantau, sehingga motivasi untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu jadi berkurang. Kondisi sangat berbeda dengan Dunsanak kita yang berhasil dirantau, dimana dengan tekad yang kuat mereka sudah siap menghadapi apapun kemungkinan yang akan terjadi, karena mereka sudah yakin bahwa itulah jalan satu-satunya untuk dapat bertahan hidup, sebelum berangkat mereka sudah bertekad untuk tidak akan pulang sebelum berhasil. Tekad yang kuat dan keinginan untuk berhasil merupakan satu-satunya modal yang mereka bawa ke negeri seberang. Dari segi materi mereka hanya bermodalkan ongkos untuk sampai di tempat tujuan. Justru sebaliknya hal tersebut tidak kita temui pada mahasiswa kita. Sebelum kuliah mereka menghitung modal dan menentukan sumber dana terlebih dahulu untuk membiayai kuliah. Boleh dikatakan selama menempuh perkuliahan mayoritas dari mereka tidak begitu mendapat kesulitan yang berarti dalam hal biaya, sehingga mereka tidak begitu mendapat tantangan dalam menyelesaikan kuliahnya. Tekad yang bulat akan menghasilkan kesungguhan dalam berusaha, kalau sudah begitu keberhasilan akan datang dengan sendirinya.
d. Kurang Aktif dalam Organisasi Dan Kegiatan Kampus.
Sangat sedikit dari mahasiswa kita yang berkecimpung dalam organisasi dan kegiatan kemahasiswaan. Ini dapat dilihat dengan minimnya aktifitas dari IPPSB, yang merupakan satu-satunya organisasi kepemudaan yang ada di Saniangbaka. Belum ada kontribusi yang sangat berarti yang bisa mereka berikan. Bahkan keberadaanyapun tidak begitu jelas, hidup segan mati pun tak mau. Sebenarnya kalau kita menyadari, keterlibatan dalam organisasi sangat berperan penting untuk mempersiapkan diri guna memasuki dunia kerja. Orang yang aktif dalam kegiatan organisasi diibaratkan telah melangkahkan separo kakinya kedalam duni kerja. Di organisasilah kita diasah untuk dapat berkomunikasi dengan baik, mengelola administrasi organisasi, bagaimana berinteraksi dengan orang lain, bekerjasama dengan tim, dan banyak manfaat lainnya. Semua aktifitas tersebut akan kita temui didunia kerja nantinya, dan tidak akan kita dapatkan dibangku kuliah.
Itulah gambaran dari sedikit permasalahan pendidikan yang ada didalam nagari saat ini, mayoritas masyarakat dikampung memandang pendidikan tinggi bukan hal yang menjanjikan untuk masa depan anak mereka, mereka lebih suka anaknya pergi merantau dari pada melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Pola pikir masyarakat ini berpengaruh besar terhadap cara anak dalam memandang arti penting pendidikan bagi masa depan mereka.
Sebagian besar dari remaja di kampuang terlena dengan hembusan angin rantau, karena sedari kecil sudah diberi sugesti baik oleh orang tua maupun lingkungan masyarakat akan keindahan hidup dirantau, yang menyebabkan lemahnya semangat mereka untuk melanjutkan pendidikan, sehingga banyak dari mereka yang putus sekolah. Padahal mereka mempunyai potensi besar dan prestasi yang sangat bagus ditingkat sekolah dasar dan menengah, tapi tidak sampai ke perguruan tinggi, ditambah lagi dengan faktor mahalnya biaya pendidikan.
Untuk pendidikan dasar menengah faktor ekonomi yang selama ini menjadi momok dan selalu dijadikan alasan untuk tidak melanjutkan pendidikan ternyata bukan merupakan faktor penghalang bagi kelangsungan pendidikan anak-anak kita, karena kita mempunyai MTsM, MAM yang dari segi kualitas tidak kalah dari sekolah-sekolah negeri serta memberikan pendidikan murah dan banyak beasiswa bagi anak-anak kita, apalagi saat ini mereka menerapkan sistem orang tua asuh bagi anak-anak yang tidak mampu. Mahalnya biaya pendidikan lebih berpengaruh terhadap kelangsungan pendidikan di perguruan tinggi.
Ini semua bukan hanya tugas Wali Nagari, juga bukan LAPPENSRA, merupakan tugas kita semua untuk dapat membangun kembali pendidikan anak-anak kita, komitmen untuk menjadikan Saniangbaka sebagai nagari pendidikan hendaknya kita dukung bersama. Terbentuknya LAPPENSRA merupakan langkah awal untuk mewujudkan cita-cita yang kita idam-idamkan, “Saniangbaka Menjadi Nagari Pendidikan”.
Gebrakan ini termasuk luar biasa dan bernilai strategis, dimana ditengah keterpurukan pendidikan Sumatera Barat, apalagi dengan maraknya kasus ijazah bodong (palsu) Saniangbaka tampil kepermukan dengan membenahi sektor pendidikan. Walaupun masih terbatas untuk nagari Saniangbaka, kalau ditindaklanjuti dengan langkah-langkah yang konkrit gerakan ini akan menjadi lokomotif bagi nagari-nagari lain dalam menggerakkan sektor pendidikan di Kab. Solok khususnya dan Sumatera Barat secara keseluruhan.
Pada saat ini prestasi pendidikan Saniangbaka cenderung mengalami penurunan yang cukup drastis, ditandai dengan minimnya prestasi yang diraih putra-putri Saniangbaka dibidang pendidikan. Begitu juga dengan sarjananya yang kesuiltan menembus dunia kerja, sangat sedikit dari mereka yang berkiprah di pemerintahan maupun di instansi-instansi swasta, sehingga banyak yang banting stir jadi pedagang. Ini merupakan sinyal bagi kita untuk segera membenahi masalah pendidikan anak nagari kita.
Untuk membenahi kompleksnya permasalahan pendidikan Saniangbaka. Ada banyak hal yang perlu segera dibenahi, mulai dari rendahnya komitmen masyarakat sampai kepada masalah biaya pendidikan yang semakin hari semakin bertambah tinggi. Menurut hemat penulis secara garis besar masalah pendidikan kontemporer(terkini) di nagari Saniangbaka dapat dikelompokkan kedalam 2 pokok permasalahan :
1. Pendidikan Dasar Menengah
Untuk pendidikan dasar menengah Saniangbaka mempunyai reputasi yang cukup bagus di Kab. Solok, ditandai dengan seringnya putra-putri Saniangbaka meraih juara umum di tingkat SMP ataupun SMA Penulis masih ingat dari awal tahun 1980 s/d awal tahun 1990, sangat banyak putra-putri Saniangbaka yang berhasil masuk sekolah-sekolah favorit di Kota Solok.Bahkan ada diantara mereka yang meraih juara umum disekolah, diantaranya adalah Arif Fadillah , Zulheldi yang berjaya di awal tahun 1980-an, Linda Asmara, Roy Mikhel, Ira, Hengki, generasi tahun 1990-an,dan banyak lagi yang lainnya. Tapi semua itu hanya tinggal kenangan karena belakangan ini prestasi pendidikan kita terus menurun. Kalau kita cermati ada beberapa permasalahan yang menyebabkan kemerosotan pendidikan Saniangbaka di tingkat dasar menengah ini, yaitu
a. Rendahnya kesadaran orang tua akan arti penting pendidikan bagi anak mereka.
Bagi sebagian orang tua pendidikan anak bukan lagi menjadi prioritas utama. Mereka lebih mendukung anak mereka pergi merantau ketimbang melanjutkan pendidikan. Sehingga motivasi yang diberikan kepada anak untuk belajar jauh berkurang. Seperti keluhan beberapa orang guru di kampung, bahwasanya “untuk membayar uang minyak satekong bareh, atau uang sakola 5000 sabulan se indak ado pitih rah, tapi kalau untuk atau mamasang togel atau bajudi pitih ndak susah kalua e rah,” kondisi ini yang menyebabkan kemauan dan semangat belajar anak jauh menurun.
b. Kurangnya pengawasan terhadap proses pendidikan anak, sangat sedikit orang tua yang peduli terhadap pendidikan anaknya. Sebagian besar orang tua tidak mau tahu apakah anaknya sudah mendapat pendidikan yang layak atau tidak disekolah, bagi mereka kalau sudah menyerahkan anak ke sekolah, pendidikan anak mereka sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru di sekolah. Sehingga pengawasan terhadap sekolah jadi berkurang, begitu juga dengan pihak pengelola nagari yang kurang memanfaatkan pelimpahan wewenang yang diberikan Pemerintah Daerah ke Pemerintahan Nagari untuk melakukan pengawasan terhadap sekolah-sekolah yang ada. Sehingga kita tidak mengetahui kondisi permasalahan yang terjadi di setiap sekolah yang ada, seperti contoh saat ada salah seorang oknum guru sekolah dasar di kampung yang selalu datang terlambat, bahkan sering tidak datang kesekolah, kalaupun datang keberadaannya tidak memberikan teladan yang baik kepada anak-anak kita dan itu sudah berlangsung selama + 20 tahun, tanpa ada seorang-pun dari Pemerintah Nagari/Pemuka Masyarakat maupun wali murid yang mempermasalahkannya. Jadi wajar kalau prestasi anak-anak kita cenderung menurun dikarenakan kurang nya perhatian kita terhadap pendidikan anak.
c. Sarana dan prasarana tidak terkelola dengan baik, kita sungguh beruntung memiliki banyak pilihan untuk menyekolahkan anak-anak kita, dengan banyaknya sekolah didalam nagari mulai dari tingkat SD s/d SMA, baik itu negeri maupun swasta. Sekarang tinggal bagaimana kita memanfaatkan secara maksimal fasilitas-fasilitas tersebut untuk menunjang pendidikan anak-anak kita. untuk sekolah swasta kita mempunyai MTsM, dan MAM dimana keduanya merupakan sekolah berbasis Muhammadiyah yang dibiaya dengan swadaya masyarakat, baik yang ada di kampung maupun di perantauan. Keduanya memiliki prestasi yang cukup bagus dan patut dibanggakan, seperti kita ketahui tahun lalu MTsM berhasil meraih NEM tertinggi di Kab. Solok untuk tingkat SLTP, sedangkan MAM tiap tahun siswa nya diterima diperguruan tinggi negeri melalui jalur PMDK, bahkan tahun 2005 kemarin 11 dari 15 siswanya yang lulus diterima melalui jalur PMDK. Disamping itu mereka juga menyediakan beasiswa bagi mereka yang kurang mampu, salah satunya dengan sistem orang tua asuh. Dengan adanya beasiswa tersebut secara tidak langsung sudah mampu mengatasi permasalahan mahalnya biaya pendidikan yang selama ini dikeluhkan oleh orang tua murid. Tetapi sayangnya prestasi yang diraih dan fasilitas yang mereka tawarkan kurang mendapat apresiasi dari masyarakat, terbukti dengan sangat sedikit dari anak-anak kita yang memanfaatkan fasilitas tersebut, mereka lebih cenderung sekolah keluar, dengan kualitas didikan boleh dikatakan tidak lebih baik dari yang ada di kampung, bahkan fasilitas tersebut lebih banyak dimanfaatkan oleh siswa dari luar Saniangbaka. Sebagian dari warga kita lebih mengutamakan gengsi daripada kualitas, sehingga wajar saja muncul keluhan dari sebagian besar masyarakat akan mahalnya biaya pendidikan. Selain kurangnya apresiasi dari masyarakat, sekolah-sekolah yang ada terkesan berjalan sendiri-sendiri, tanpa ada koordinasi diantara mereka. Alangkah lebih bermanfaatnya semua unsur pendidikan yang ada saling bekerjasama dalam membangun pendidikan anak nagari, dengan menghilangkan perbedaan, sehingga membentuk sebuah sinergi yang nantinya akan mengkristal menjadi sebuah kekuatan dalam bentuk pendidikan berbasis nagari.
d. Kreatifitas anak tidak berkembang dengan baik, Salah satu pilar pendidikan yang ditetapkan UNESCO (1996), adalah belajar untuk menguasai keterampilan (learning to do). Dewasa ini keterampilan sangat dibutuhkan untuk menopang kehidupan seseorang, bahkan keterampilan bisa lebih dominan daripada penguasaan ilmu pengetahuan dalam mendukung keberhasilan hidup seseorang. Salah satu permasalahan mendasar yang dihadapi oleh generasi muda Saniangbaka saat ini adalah kurangnya keterampilan (life skill). Permasalahan ini muncul karena kurangnya sarana dan prasarana untuk menyalurkan minat dan bakat, sehingga mereka cenderung bertindak negatif, dan tidak sedikit yang terjerumus ke jurang Narkoba. Arah pembangunan nagari yang belakangan ini lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur turut menjadi penyebabnya. Betapa banyak remaja Saniangbaka yang menjadi penganguran terselubung dirantau, semua itu disebabkan karena mereka tidak memiliki keterampilan yang dibawa kerantau selain manggaleh, sehingga mereka kalah berkompetisi dalam menghadapi kerasnya persaingan hidup di kota besar. Mereka tidak punya bekal yang cukup untuk pergi merantau, karena memang kita tidak membekali mereka dengan keterampilan sejak dini.
e. Derasnya pengaruh rantau, merantau sudah menjadi salah satu cita-cita bagi generasi muda Saniangbaka, cucuran dana yang tidak henti-hentinya mengalir ke kampung membuat mereka terbuai dengan pesona yang ditebarkan dunsanak-dunsanak yang pulang dari rantau. Bahkan orang tua banyak yang lebih menginginkan anaknya pergi merantau dari pada melanjutkan pendidikan. Tamat SMA merupakan batas maksimal garansi pendidikan bagi anak-anak mereka, setelah itu mereka akan menyarankan anaknya untuk pergi merantau. Sugesti tentang indahnya hidup dirantau sudah dihembuskan kepada anak-anak mereka semenjak kecil, akibatnya sianak menjadi malas belajar, karena angan-angan untuk merantau sudah begitu kuat mempengaruhinya, sehingga banyak anak-anak yang putus sekolah (tidak tamat SMA), dan pergi merantau. Dapat kita bayangkan bagaimana minimnya modal yang mereka bawa untuk mengadu nasib dirantau. Berkaca dari permasalahan tersebut, wajar bila banyak remaja kita yang gagal diperantauan.
2. Perguruan Tinggi
Sampai saat ini Saniangbaka memiliki cukup banyak sarjana, baik lulusan perguruan tinggi negeri, maupun swasta. Untuk Kota Padang saja rata-rata dalam satu tahun meluluskan + 20 orang sarjana asal Saniangbaka. Dari sekian banyak lulusan tersebut, sangat sedikit dari mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka, bahkan lebih banyak yang memilih pergi merantau untuk mencari kerja, yang ujung-ujungnya mereka akhirnya manggaleh juga.
Kondisi yang demikian semakin memperkuat asumsi masyarakat dikampung bahwasanya merantau lebih menjanjikan dari pada melanjutkan pendidikan. Seperti yang jamak dikatakan orang tua kepada anaknya, bahwasanya kuliah hanya akan menghabiskan waktu dan uang saja. Ujung-ujungnya setelah tamat nanti pasti manggaleh dirantau. Kalau biaya kuliah itu dijadikan modal untuk manggaleh, dalam jangka waktu 5 tahun akan menghasilkan keuntungan yang sangat besar. Sugesti inilah yang menyebabkan mereka enggan menyekolahkan anak mereka tinggi-tinggi.
Berkaca dari aktifitas mahasiswa kita yang ada di Kota Padang, menurut hemat penulis, ada beberapa faktor yang menyebabkan kenapa para sarjana asal Saniangbaka banyak yang gagal memasuki dunia kerja, diantaranya adalah:
a. Salah memilih jurusan
Banyak mahasiswa Saniangbaka yang tidak paham dengan jurusan yang mereka ambil, sebagian besar dari mereka baru menyadari ketika sudah kuliah beberapa semester. Sebagai contoh dalam 10 tahun terakhir ini untuk Universitas Andalas Padang, mahasiswa asal Saniangbaka banyak yang kuliah di Fakultas Pertanian. Setiap tahun ajaran baru siswa Saniangbaka selalu ada yang diterima di Fakultas tersebut. Bukan bermaksud menyepelekan Fakultas Pertanian, tidak, karena sampai saat ini dari sekian banyak mahasiswa tersebut ketika ditanya “kenapa memilih fakultas pertanian,” sebagian mereka tidak mampu menjawab dengan pasti tujuan mereka memilih jurusan tersebut, begitu juga denga lulusannya sampai saat ini banyak yang menganggur atau banting stir jadi pedagang. Kenyataan tersebut diatas tidak bisa kita salahkan,karena memang sampai saat ini tidak ada satu lembaga-pun yang memandu calon mahasiswa asal Saniangbaka memilih jurusan di Perguruan tinggi, baik itu IPPSB, ataupun para tokoh pendidikan yang ada di kampung. Akibatnya bakat mereka tidak tersalurkan dengan baik, sehingga mereka kuliah tidak sungguh-sungguh . Mudah-mudahan hal ini bisa menjadi bagian dari program kerja LAPPENSRA.
b. Mahalnya Biaya Kuliah
Biaya kuliah yang tinggi merupakan momok yang paling menakutkan bagi orang tua dalam menguliahkan anaknya. dalam kondisi sulit seperti sekarang ini dimana biaya hidup makin hari makin bertambah tinggi, pendidikan menjadi barang yang mahal, apalagi bagi mereka yang ekonominya yang pas-pasan. Mereka berfikir dua kali untuk melanjutkan pendidikan anaknya ke perguruan tinggi. Sampai saat di Saniangbaka belum ada beasiswa yang khusus diperuntukkan bagi anak yang kurang mampu yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, bantuan masih terbatas sampai sekolah menengah. Wacana ini sudah sering mengemuka, termasuk dalam acara silaturahmi antara pemuka masyarakat dengan IPPSB Padang setahun yang lalu di Fakultas Kedokteran Unand, tapi realisasinya belum nampak sampai sekarang. Saat ini prestasi pendidikan Saniangbaka diibaratkan lado mati pucuk, prestasi bagus yang diraih para pelajar kita hanya sampai tingkat sekolah menengah setelah itu hilang dari peredaran dikarenakan tidak adanya biaya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi negeri, sehingga mereka lebih memilih pergi merantau.
Sebenarnya tingginya biaya kuliah bisa diminimalisir dengan tekad yang kuat untuk berhasil, banyak peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan oleh para mahasiswa untuk dapat meringankan biaya hidup sehari-hari, ditambah lagi dengan banyaknya beasiswa yang ditawarkan bagi mereka yang tidak mampu,baik oleh lembaga pemerintah maupun swasta. Sebut saja namanya Daspan, mahasiswa Unand yang berasal dari Bengkulu mampu memenuhi kebutuhannya sehari-hari dengan rajin menulis artikel, dan mengirimkannya ke media massa atau zulham yang menjual roti pada pagi hari sebelum berangkat kuliah, atau Amin yang bekerja sambil kuliah, untuk membiayai kuliahnya dan memenuhi nafkah keluarganya. Banyak orang-orang sukses yang bekerja sambil kuliah, mereka berhasil karena memiliki tekad dan kemauan yang untuk menjadi orang besar, seperti Menteri BUMN Sugiharto, yang membiayai sekolahnya dengan menjadi tukang parkir, Budiman, S.Ag. anggota DPRD Kota Padang, yang membiayai kuliahnya dengan menjadi garin mesjid, atau contoh yang lebih dekat, Abel Tasman, S.Sos. yang semenjak kuliah sudah aktif menulis dimedia massa baik lokal maupun nasional, mereka mampu memenuhi sendiri kebutuhan hidupnya. Pada akhirnya mereka berhasil di dunia kerja, karena ketika masih kuliah mereka sudah terbiasa menaklukkan kerasnya tantangan hidup, sehingga setelah tamat mereka tidak terlalu bergantung lagi kepada ijazahnya, karena mereka sudah mengetahui jalur-jalur mana yang akan mereka tempuh menuju masa depan.
c. Kurangnya tekad untuk menjadikan pendidikan sebagai modal untuk meraih masa depan
Saat ini terjadi kemenduaan pada diri mahasiswa kita, antara kuliah dan merantau. Akibatnya ketika kuliah mereka berfikir bahwasanya, kalaupun setelah tamat kuliah mereka gagal mendapatkan pekerjaan, masih ada alternatif lain yang lebih menjanjikan bagi masa depan mereka, yaitu pergi merantau, sehingga motivasi untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu jadi berkurang. Kondisi sangat berbeda dengan Dunsanak kita yang berhasil dirantau, dimana dengan tekad yang kuat mereka sudah siap menghadapi apapun kemungkinan yang akan terjadi, karena mereka sudah yakin bahwa itulah jalan satu-satunya untuk dapat bertahan hidup, sebelum berangkat mereka sudah bertekad untuk tidak akan pulang sebelum berhasil. Tekad yang kuat dan keinginan untuk berhasil merupakan satu-satunya modal yang mereka bawa ke negeri seberang. Dari segi materi mereka hanya bermodalkan ongkos untuk sampai di tempat tujuan. Justru sebaliknya hal tersebut tidak kita temui pada mahasiswa kita. Sebelum kuliah mereka menghitung modal dan menentukan sumber dana terlebih dahulu untuk membiayai kuliah. Boleh dikatakan selama menempuh perkuliahan mayoritas dari mereka tidak begitu mendapat kesulitan yang berarti dalam hal biaya, sehingga mereka tidak begitu mendapat tantangan dalam menyelesaikan kuliahnya. Tekad yang bulat akan menghasilkan kesungguhan dalam berusaha, kalau sudah begitu keberhasilan akan datang dengan sendirinya.
d. Kurang Aktif dalam Organisasi Dan Kegiatan Kampus.
Sangat sedikit dari mahasiswa kita yang berkecimpung dalam organisasi dan kegiatan kemahasiswaan. Ini dapat dilihat dengan minimnya aktifitas dari IPPSB, yang merupakan satu-satunya organisasi kepemudaan yang ada di Saniangbaka. Belum ada kontribusi yang sangat berarti yang bisa mereka berikan. Bahkan keberadaanyapun tidak begitu jelas, hidup segan mati pun tak mau. Sebenarnya kalau kita menyadari, keterlibatan dalam organisasi sangat berperan penting untuk mempersiapkan diri guna memasuki dunia kerja. Orang yang aktif dalam kegiatan organisasi diibaratkan telah melangkahkan separo kakinya kedalam duni kerja. Di organisasilah kita diasah untuk dapat berkomunikasi dengan baik, mengelola administrasi organisasi, bagaimana berinteraksi dengan orang lain, bekerjasama dengan tim, dan banyak manfaat lainnya. Semua aktifitas tersebut akan kita temui didunia kerja nantinya, dan tidak akan kita dapatkan dibangku kuliah.
Itulah gambaran dari sedikit permasalahan pendidikan yang ada didalam nagari saat ini, mayoritas masyarakat dikampung memandang pendidikan tinggi bukan hal yang menjanjikan untuk masa depan anak mereka, mereka lebih suka anaknya pergi merantau dari pada melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Pola pikir masyarakat ini berpengaruh besar terhadap cara anak dalam memandang arti penting pendidikan bagi masa depan mereka.
Sebagian besar dari remaja di kampuang terlena dengan hembusan angin rantau, karena sedari kecil sudah diberi sugesti baik oleh orang tua maupun lingkungan masyarakat akan keindahan hidup dirantau, yang menyebabkan lemahnya semangat mereka untuk melanjutkan pendidikan, sehingga banyak dari mereka yang putus sekolah. Padahal mereka mempunyai potensi besar dan prestasi yang sangat bagus ditingkat sekolah dasar dan menengah, tapi tidak sampai ke perguruan tinggi, ditambah lagi dengan faktor mahalnya biaya pendidikan.
Untuk pendidikan dasar menengah faktor ekonomi yang selama ini menjadi momok dan selalu dijadikan alasan untuk tidak melanjutkan pendidikan ternyata bukan merupakan faktor penghalang bagi kelangsungan pendidikan anak-anak kita, karena kita mempunyai MTsM, MAM yang dari segi kualitas tidak kalah dari sekolah-sekolah negeri serta memberikan pendidikan murah dan banyak beasiswa bagi anak-anak kita, apalagi saat ini mereka menerapkan sistem orang tua asuh bagi anak-anak yang tidak mampu. Mahalnya biaya pendidikan lebih berpengaruh terhadap kelangsungan pendidikan di perguruan tinggi.
Ini semua bukan hanya tugas Wali Nagari, juga bukan LAPPENSRA, merupakan tugas kita semua untuk dapat membangun kembali pendidikan anak-anak kita, komitmen untuk menjadikan Saniangbaka sebagai nagari pendidikan hendaknya kita dukung bersama. Terbentuknya LAPPENSRA merupakan langkah awal untuk mewujudkan cita-cita yang kita idam-idamkan, “Saniangbaka Menjadi Nagari Pendidikan”.
Bahaya Banjir Bandang
Tingkat kerusakan hutan yang melampaui batas di hulu sungai dan sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai) akibat ulah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab merupakan faktor penyebab utama terjadinya banjir bandang
Banjir saat ini seolah-olah sudah menjadi rutinitas bagi sebagian warga Indonesia. setiap datangnya musim penghujan dibeberapa daerah disibukkan dengan datangnya musibah banjir, bahkan yang lebih parah lagi adalah datangnya banjir bandang. Banjir yang melanda daerah permukaan rendah yang terjadi akibat hujan yang turun terus-menerus dan muncul secara tiba-tiba. Banjir bandang terjadi saat penjenuhan air terhadap tanah diwilayah tersebut berlangsung sangat cepat hingga tidak dapat diserap lagi. Air yang tergenang lalu berkumpul di daerah-daerah dengan permukaan rendah dan mengalir dengan cepat ke daerah yang lebih rendah. Akibatnya segala benda yang dilewati air hanyut terbawa arus secara tiba-tiba.
Contoh banjir bandang besar yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia adalah banjir di Bukit Lawang Kab. Langkat Sumut pada November 2003, dimana sedikitnya 80 orang tewas dan menghanyutkan ratusan rumah. Semenjak saat itu banjir bandang seolah sudah menjadi langganan bagi republik ini, berturut-turut kejadin di Aceh Tenggara pada April 2005 yang meluluhlantakkan pemukiman penduduk di daerah tersebut.
Pada awal tahun 2006 ini justru lebih parah lagi, banjir bandang melanda hampir di seluruh pelosok tanah air, pada 1 Januari 2006, banjir di Jember menewaska 59 orang, setelah itu banjir bandang berturut-turut melanda beberapa daerah di Pulau Jawa, daerah Manado, Nusa Tenggara Timur, dan dibeberapa daerah lainnya.
Sumbar sendiri tidak luput dari musibah banjir bandang, bahkan lebih parah dibandingkan daerah lain. Banjir terjadi di beberapa Kabupaten, seperti di Lubuk Basung yang membuat jalur Lubuk Basung - Pasaman terputus, di Kab. Dharmasraya luapan sungai Batanghari merendam sekitar 150 bh rumah. Kondisi paling parah terjadi di Kab. Pesisir Selatan, hanya pada bulan Februari 2006 saja banjir bandang terjadi 3 kali berturut-turut yang menghantam 3 kecamatan. Banjir menghanyutkan ratusan rumah warga, bahkan memakan korban jiwa sebanyak 2 orang, total kerugian diperkirakan mencapai Rp. 100 Milyar.
Tingkat kerusakan hutan yang melampaui batas di sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai) oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab merupakan faktor penyebab utama terjadinya banjir bandang. Ditambah lagi dengan tingginya curah hujan yang turun dalam jangka waktu yang lama. Selaras dengan apa yang disampaikan oleh Wakil Gubernur Sumatera Barat, Prof. DR. H. Marlis Rahman, MSc, kepada wartawan ketika berkunjung ke lokasi bencana di Nagari Kambang, Kec. Lengayang, Kab. Pessel ”hutan gundul merupakan faktor penyebab banjir bandang, terbukti dengan banyaknya kayu-kayu besar bekas tebangan liar ditemukan bergelimpangan di tengah kampung setelah surutnya air dari banjir itu,”
Lantas apa hubungannya dengan kita warga Saniangbaka? Seperti kita ketahui bahwasanya nagari kita dilalui oleh Tangaya yang membelah pemukiman menjadi 2 bagian yaitu Timur dan Barat. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pada tahun 1987 yang lalu Tangaya “mengamuk” dan menghanyutkan beberapa buah rumah dan merusak areal persawahan. Balum lagi banjir-banjir kecil yang mengikis pinggiran tebing yang membatasi aliran sungai.
Potensi untuk terulangnya kejadian tersebut dalam waktu dekat ini bukan tidak ada, dan belum begitu membahayakan. Seperti yang kita ketahui bersama, pada saat ini aliran air Tangaya jauh menyusut dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, debit airnya tak ubahnya seperti “aia banda”. Kondisi ini menandakan kurang/rendahnya tingkat serapan air di hulu sungai. Setiap terjadi hujan dalam jangka waktu yang cukup lama, debit air menjadi tinggi, tapi hanya berlangsung sesaat setelah itu langsung kering seperti semula. Kalau hujan turun dalam waktu yang lebih lama lagi tentu kondisinya akan jauh lebih membahayakan. DAS kita yang berbelok-belok yang melintasi pemukiman penduduk, membuat aliran air jadi tidak terkendali ikut memperparah keadaan.
Patut kita syukuri sampai saat ini minat warga kita untuk melakukan penebangan hutan (faktor utama penyebab terjadinya banjir bandang dan longsor) masih sangat rendah, sehingga sampai saat ini hutan kita masih terjaga. Akan tetapi dengan dibukanya jalan tembus dari Aia Angek sampai Kapalo Banda, otomatis membuka akses untuk masuk ke kawasan hutan kita yang selama ini belum terjamah, sehingga kedepan hal ini patut menjadi perhatian tersendiri bagi pihak pengelola nagari.
Untuk itu kita harus mulai memikirkan dari sekarang bagaimana untuk mengantisipasi supaya kejadian yang lalu jangan sampai terulang kembali. Disamping itu kecilnya debit air Tangaya sudah saatnya menjadi perhatian kita bersama, seperti kita ketahui Tangaya merupakan urat nadi nagari Saniangbaka. Kecilnya aliran air tidak mampu menghanyutkan sampah yang dibuang masyarakat, sehingga membuat terjadi tumpukan-tumpukan sampah, yang sudah pasti akan menjadi sumber penyakit.
Alangkah lebih bermanfaat kalau panitia pulang basamo tahun 2006 yang sudah dibentuk menjadikan reboisasi/penghijauan nagari sebagai salah satu programnya, dan mencari solusi terhadap permasalahan kecilnya debit air Tangaya, dibandingkan dengan acara hura-hura yang manfaatnya mungkin hanya dirasakan oleh segelintir orang.
Banjir saat ini seolah-olah sudah menjadi rutinitas bagi sebagian warga Indonesia. setiap datangnya musim penghujan dibeberapa daerah disibukkan dengan datangnya musibah banjir, bahkan yang lebih parah lagi adalah datangnya banjir bandang. Banjir yang melanda daerah permukaan rendah yang terjadi akibat hujan yang turun terus-menerus dan muncul secara tiba-tiba. Banjir bandang terjadi saat penjenuhan air terhadap tanah diwilayah tersebut berlangsung sangat cepat hingga tidak dapat diserap lagi. Air yang tergenang lalu berkumpul di daerah-daerah dengan permukaan rendah dan mengalir dengan cepat ke daerah yang lebih rendah. Akibatnya segala benda yang dilewati air hanyut terbawa arus secara tiba-tiba.
Contoh banjir bandang besar yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia adalah banjir di Bukit Lawang Kab. Langkat Sumut pada November 2003, dimana sedikitnya 80 orang tewas dan menghanyutkan ratusan rumah. Semenjak saat itu banjir bandang seolah sudah menjadi langganan bagi republik ini, berturut-turut kejadin di Aceh Tenggara pada April 2005 yang meluluhlantakkan pemukiman penduduk di daerah tersebut.
Pada awal tahun 2006 ini justru lebih parah lagi, banjir bandang melanda hampir di seluruh pelosok tanah air, pada 1 Januari 2006, banjir di Jember menewaska 59 orang, setelah itu banjir bandang berturut-turut melanda beberapa daerah di Pulau Jawa, daerah Manado, Nusa Tenggara Timur, dan dibeberapa daerah lainnya.
Sumbar sendiri tidak luput dari musibah banjir bandang, bahkan lebih parah dibandingkan daerah lain. Banjir terjadi di beberapa Kabupaten, seperti di Lubuk Basung yang membuat jalur Lubuk Basung - Pasaman terputus, di Kab. Dharmasraya luapan sungai Batanghari merendam sekitar 150 bh rumah. Kondisi paling parah terjadi di Kab. Pesisir Selatan, hanya pada bulan Februari 2006 saja banjir bandang terjadi 3 kali berturut-turut yang menghantam 3 kecamatan. Banjir menghanyutkan ratusan rumah warga, bahkan memakan korban jiwa sebanyak 2 orang, total kerugian diperkirakan mencapai Rp. 100 Milyar.
Tingkat kerusakan hutan yang melampaui batas di sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai) oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab merupakan faktor penyebab utama terjadinya banjir bandang. Ditambah lagi dengan tingginya curah hujan yang turun dalam jangka waktu yang lama. Selaras dengan apa yang disampaikan oleh Wakil Gubernur Sumatera Barat, Prof. DR. H. Marlis Rahman, MSc, kepada wartawan ketika berkunjung ke lokasi bencana di Nagari Kambang, Kec. Lengayang, Kab. Pessel ”hutan gundul merupakan faktor penyebab banjir bandang, terbukti dengan banyaknya kayu-kayu besar bekas tebangan liar ditemukan bergelimpangan di tengah kampung setelah surutnya air dari banjir itu,”
Lantas apa hubungannya dengan kita warga Saniangbaka? Seperti kita ketahui bahwasanya nagari kita dilalui oleh Tangaya yang membelah pemukiman menjadi 2 bagian yaitu Timur dan Barat. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pada tahun 1987 yang lalu Tangaya “mengamuk” dan menghanyutkan beberapa buah rumah dan merusak areal persawahan. Balum lagi banjir-banjir kecil yang mengikis pinggiran tebing yang membatasi aliran sungai.
Potensi untuk terulangnya kejadian tersebut dalam waktu dekat ini bukan tidak ada, dan belum begitu membahayakan. Seperti yang kita ketahui bersama, pada saat ini aliran air Tangaya jauh menyusut dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, debit airnya tak ubahnya seperti “aia banda”. Kondisi ini menandakan kurang/rendahnya tingkat serapan air di hulu sungai. Setiap terjadi hujan dalam jangka waktu yang cukup lama, debit air menjadi tinggi, tapi hanya berlangsung sesaat setelah itu langsung kering seperti semula. Kalau hujan turun dalam waktu yang lebih lama lagi tentu kondisinya akan jauh lebih membahayakan. DAS kita yang berbelok-belok yang melintasi pemukiman penduduk, membuat aliran air jadi tidak terkendali ikut memperparah keadaan.
Patut kita syukuri sampai saat ini minat warga kita untuk melakukan penebangan hutan (faktor utama penyebab terjadinya banjir bandang dan longsor) masih sangat rendah, sehingga sampai saat ini hutan kita masih terjaga. Akan tetapi dengan dibukanya jalan tembus dari Aia Angek sampai Kapalo Banda, otomatis membuka akses untuk masuk ke kawasan hutan kita yang selama ini belum terjamah, sehingga kedepan hal ini patut menjadi perhatian tersendiri bagi pihak pengelola nagari.
Untuk itu kita harus mulai memikirkan dari sekarang bagaimana untuk mengantisipasi supaya kejadian yang lalu jangan sampai terulang kembali. Disamping itu kecilnya debit air Tangaya sudah saatnya menjadi perhatian kita bersama, seperti kita ketahui Tangaya merupakan urat nadi nagari Saniangbaka. Kecilnya aliran air tidak mampu menghanyutkan sampah yang dibuang masyarakat, sehingga membuat terjadi tumpukan-tumpukan sampah, yang sudah pasti akan menjadi sumber penyakit.
Alangkah lebih bermanfaat kalau panitia pulang basamo tahun 2006 yang sudah dibentuk menjadikan reboisasi/penghijauan nagari sebagai salah satu programnya, dan mencari solusi terhadap permasalahan kecilnya debit air Tangaya, dibandingkan dengan acara hura-hura yang manfaatnya mungkin hanya dirasakan oleh segelintir orang.
RUNTUHNYA SURAU KAMI
Riuh rendah suara anak-anak mengaji selalu terdengar malam hari di surau ini, setiap sudut surau yang terdiri dari 2 lantai ini penuh terisi, + 200 orang jumlah anak yang aktif mengaji setiap malamnya disini, dengan 14 orang majelis guru. Jumlah yang sangat luar biasa untuk ukuran sebuah nagari dengan belasan surau, dan 2 bh mesjid yang aktif mengadakan pengajian.
Sudah lama kita merindukan suasana seperti ini, yang tidak pernah kita temui lagi dalam 2 dekade terakhir ini. Murid-muridnya bukan saja berasal dari anak-anak yang berdomisili di sekitar surau tapi juga berasal dari seluruh pelosok nagari, mulai dari Balai Lalang, Balai Gadang, Balai Batingkah, Kapalo Labuh, datang Mengaji Kasurau Bungo Lapau Manggih.
Hasilnya pun sungguh menggembirakan kita semua, setiap ada perlombaan mengaji (MTQ/MSQ) antar surau di kampuang selalu dimenangkan oleh anak-anak mangaji Surau Bungo, sedangkan untuk tingkat Kecamatan, peserta dari anak-anak Surau Bungo selalu ikut mewakili Saniangbaka.Untuk tingkat Kabupaten jangan ditanya lagi semua orang pasti tahu bahwa setiap tahun Surau Bungo selalu mengadakan lomba Qasidah Rabana.
Puncak prestasi Surau Bungo dapat dilihat pada acara wisuda(Qhatam Al-Qur’an) yang diadakan 1 kali 2 tahun, dengan menghasilkan lulusan rata-rata + 45 orang setiap tahunnya. Setiap ada kegiatan nagari pun mereka tidak mau ketinggalan dengan selalu mengikutsertakan anak-anak Marching Band mereka untuk meramaikan acara, seperti Melepas Keberangkatan Haji dan kegiatan lainnya.
Ini semua cukup membanggakan kita, sebagai warga Saniangbaka ditengah kelesuan surau-surau lain Surau Bungo tetap aktif dalam membina dan mendidik generasi penerus Saniangbaka di bidang Agama.
Tapi suasana langsung berubah 180 o semenjak hari raya Idul Fitri 1425 H (2005 M), para guru ngaji tidak mau lagi mengajar akibatnya anak-anak jadi terlantar, dan sekarang hanya tinggal + 50 orang anak dengan diajar oleh 7 orang guru, semua kegiatan rutin mereka pun jadi terlantar.
Penyebabnya adalah Khutbah nyeleneh dari Khatib Sholat Ied di Mesjid Raya, dimana pada waktu itu khatib menyampaikan yang intinya bahwa ada guru ngaji/amil zakat fitrah yang membagi-bagikan beras zakat fitrah untuk pribadi mereka, dari 4 karung beras yang ada 2 karung bagikan kepada fakir miskin, sedangkan 2 karung lagi mereka bagi-bagi. Pernyataan ini membuat para guru jadi tersinggung karena pengabdian mereka selama ini tidak dihargai sama sekali, dengan menuduh mereka berbuat hina, memakan beras zakat fitrah, dan itu disampaikan di hadapan seribuan orang, yang mungkin saja sebagian dari mereka langsung menerima informasi tersebut sebagai sebuah kebenaran.
Walaupun sang khatib sendiri tidak menyebutkan nama orangnya tapi sebagian dari jemaah sudah dapat menyimpulkan bahwa sindiran itu ditujukan kepada majelis guru Surau Bungo, apalagi para guru sebagai orang di fitnah.
Yang patut kita pertanyakan adalah apakah benar apa yang disampaikan khatib tersebut?, setelah penulis menanyakan langsung kepada pengurus surau (H. Kubar) beliau mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh khatib tersebut tidak benar, bahkan beliau sendiri menyaksikan sendiri bagaimana para guru & pemuda yang berjumlah + 20 orang tersebut membagikan beras sambil bahujan-hujan, sedangkan sisa beras yang tinggal hanya ½ karung, bukan 2 karung seperti yang disebutkan khatib, dan itupun kalau dibagikan kepada amil zakat yang jumlah 20 orang tidak akan mencukupi untuk jatah mereka sebagai amil. Senada dengan Pak Haji, menurut salah seorang majelis guru yang namanya tidak mau disebutkan apa yang disampaikan oleh khatib tersebut merupakan sebuah fitnah, dan membuat mereka sangat terpukul dengan kejadian ini, sehingga mereka memilih mengundurkan diri sebagai guru di Surau Bungo, karena pengabdian mereka selama ini terhadap surau sudah dinodai dengan fitnah yang sangat menyakitkan. Akibatnya sekarang adalah sebagian dari guru yang mengundurkan diri tersebut memilih mengajar di Surau Kapalo Banda, bahkan anak-anak yang selama ini mengaji di Surau Bungo pun sebagian sudah mengikuti mereka untuk mengaji di Surau Bungo. Kejadian ini akan memunculkan bibit-bibit perpecahan baru antara Surau Bungo dan Surau Kapalo Banda, karena pihak Surau Bungo merasa anak-anak mereka dibujuk untuk pindah mengaji.
Sungguh sangat kita sesalkan kejadian ini, anak-anak yang tidak mengerti dengan akar permasalahannya yang jadi korban, mereka jadi terombang-ambing bahkan sebagian dari mereka memilih tidak mengaji, lantas bagaimana tindakan dari pihak-pihak yang terkait dalam menyikapi permasalahan ini?, menurut Pak H. Kubar sendiri pengurus sudah menanyakan kepada si Khatib apa maksud dari khotbahnya tersebut, tapi yang bersangkutan berkilah, bahwa apa yang disampaikannya tersebut bukan ditujukan untuk Surau Bungo, tapi dia hanya memberikan contoh kepada jemaah, tapi masyarakat sudah terlanjur menilai bahwasanya sindiran itu ditujukan kepada Surau Bungo. Terhadap guru sendiri menurut pengurus mereka sudah memanggil mereka untuk mendudukkan permasalahan ini, tapi setelah dipanggil mereka tidak mau datang. Dari pihak guru sendiri mengakui mereka memang sudah dipanggil oleh pengurus dalam hal ini adalah Bpk. H. Nurijal sebagai Ketua Pengurus, tetapi mereka tidak mau menyanggupi karena mereka disuruh datang ke Solok ke tempat Ketua, sedangkan mereka menginginkan permasalahan ini diselesaikan di surau bersama-sama dengan khatib yang menjadi pangkal permasalahannya. Bagaimana dengan khatib sendiri sejauh ini menurut mereka, yang bersangkutan belum pernah menemui mereka untuk mendudukkan pokok permasalahannya.
Terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah memang sudah seharusnya pihak-pihak yang terkait duduk bersama menyelesaikan permasalahan ini sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Apalagi dalam hal ini yang paling dirugikan adalah anak-anak kita generasi penerus nagari, atau kalau memang diperlukan pihak wali nagari turun tangan untuk memfasilitasi dalam penyeselsaian permasalahan ini. Indak ado kusuik nan indak bisa disalasaikan indak ado karuah nan indak bisa dijaniahkan.
Sudah lama kita merindukan suasana seperti ini, yang tidak pernah kita temui lagi dalam 2 dekade terakhir ini. Murid-muridnya bukan saja berasal dari anak-anak yang berdomisili di sekitar surau tapi juga berasal dari seluruh pelosok nagari, mulai dari Balai Lalang, Balai Gadang, Balai Batingkah, Kapalo Labuh, datang Mengaji Kasurau Bungo Lapau Manggih.
Hasilnya pun sungguh menggembirakan kita semua, setiap ada perlombaan mengaji (MTQ/MSQ) antar surau di kampuang selalu dimenangkan oleh anak-anak mangaji Surau Bungo, sedangkan untuk tingkat Kecamatan, peserta dari anak-anak Surau Bungo selalu ikut mewakili Saniangbaka.Untuk tingkat Kabupaten jangan ditanya lagi semua orang pasti tahu bahwa setiap tahun Surau Bungo selalu mengadakan lomba Qasidah Rabana.
Puncak prestasi Surau Bungo dapat dilihat pada acara wisuda(Qhatam Al-Qur’an) yang diadakan 1 kali 2 tahun, dengan menghasilkan lulusan rata-rata + 45 orang setiap tahunnya. Setiap ada kegiatan nagari pun mereka tidak mau ketinggalan dengan selalu mengikutsertakan anak-anak Marching Band mereka untuk meramaikan acara, seperti Melepas Keberangkatan Haji dan kegiatan lainnya.
Ini semua cukup membanggakan kita, sebagai warga Saniangbaka ditengah kelesuan surau-surau lain Surau Bungo tetap aktif dalam membina dan mendidik generasi penerus Saniangbaka di bidang Agama.
Tapi suasana langsung berubah 180 o semenjak hari raya Idul Fitri 1425 H (2005 M), para guru ngaji tidak mau lagi mengajar akibatnya anak-anak jadi terlantar, dan sekarang hanya tinggal + 50 orang anak dengan diajar oleh 7 orang guru, semua kegiatan rutin mereka pun jadi terlantar.
Penyebabnya adalah Khutbah nyeleneh dari Khatib Sholat Ied di Mesjid Raya, dimana pada waktu itu khatib menyampaikan yang intinya bahwa ada guru ngaji/amil zakat fitrah yang membagi-bagikan beras zakat fitrah untuk pribadi mereka, dari 4 karung beras yang ada 2 karung bagikan kepada fakir miskin, sedangkan 2 karung lagi mereka bagi-bagi. Pernyataan ini membuat para guru jadi tersinggung karena pengabdian mereka selama ini tidak dihargai sama sekali, dengan menuduh mereka berbuat hina, memakan beras zakat fitrah, dan itu disampaikan di hadapan seribuan orang, yang mungkin saja sebagian dari mereka langsung menerima informasi tersebut sebagai sebuah kebenaran.
Walaupun sang khatib sendiri tidak menyebutkan nama orangnya tapi sebagian dari jemaah sudah dapat menyimpulkan bahwa sindiran itu ditujukan kepada majelis guru Surau Bungo, apalagi para guru sebagai orang di fitnah.
Yang patut kita pertanyakan adalah apakah benar apa yang disampaikan khatib tersebut?, setelah penulis menanyakan langsung kepada pengurus surau (H. Kubar) beliau mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh khatib tersebut tidak benar, bahkan beliau sendiri menyaksikan sendiri bagaimana para guru & pemuda yang berjumlah + 20 orang tersebut membagikan beras sambil bahujan-hujan, sedangkan sisa beras yang tinggal hanya ½ karung, bukan 2 karung seperti yang disebutkan khatib, dan itupun kalau dibagikan kepada amil zakat yang jumlah 20 orang tidak akan mencukupi untuk jatah mereka sebagai amil. Senada dengan Pak Haji, menurut salah seorang majelis guru yang namanya tidak mau disebutkan apa yang disampaikan oleh khatib tersebut merupakan sebuah fitnah, dan membuat mereka sangat terpukul dengan kejadian ini, sehingga mereka memilih mengundurkan diri sebagai guru di Surau Bungo, karena pengabdian mereka selama ini terhadap surau sudah dinodai dengan fitnah yang sangat menyakitkan. Akibatnya sekarang adalah sebagian dari guru yang mengundurkan diri tersebut memilih mengajar di Surau Kapalo Banda, bahkan anak-anak yang selama ini mengaji di Surau Bungo pun sebagian sudah mengikuti mereka untuk mengaji di Surau Bungo. Kejadian ini akan memunculkan bibit-bibit perpecahan baru antara Surau Bungo dan Surau Kapalo Banda, karena pihak Surau Bungo merasa anak-anak mereka dibujuk untuk pindah mengaji.
Sungguh sangat kita sesalkan kejadian ini, anak-anak yang tidak mengerti dengan akar permasalahannya yang jadi korban, mereka jadi terombang-ambing bahkan sebagian dari mereka memilih tidak mengaji, lantas bagaimana tindakan dari pihak-pihak yang terkait dalam menyikapi permasalahan ini?, menurut Pak H. Kubar sendiri pengurus sudah menanyakan kepada si Khatib apa maksud dari khotbahnya tersebut, tapi yang bersangkutan berkilah, bahwa apa yang disampaikannya tersebut bukan ditujukan untuk Surau Bungo, tapi dia hanya memberikan contoh kepada jemaah, tapi masyarakat sudah terlanjur menilai bahwasanya sindiran itu ditujukan kepada Surau Bungo. Terhadap guru sendiri menurut pengurus mereka sudah memanggil mereka untuk mendudukkan permasalahan ini, tapi setelah dipanggil mereka tidak mau datang. Dari pihak guru sendiri mengakui mereka memang sudah dipanggil oleh pengurus dalam hal ini adalah Bpk. H. Nurijal sebagai Ketua Pengurus, tetapi mereka tidak mau menyanggupi karena mereka disuruh datang ke Solok ke tempat Ketua, sedangkan mereka menginginkan permasalahan ini diselesaikan di surau bersama-sama dengan khatib yang menjadi pangkal permasalahannya. Bagaimana dengan khatib sendiri sejauh ini menurut mereka, yang bersangkutan belum pernah menemui mereka untuk mendudukkan pokok permasalahannya.
Terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah memang sudah seharusnya pihak-pihak yang terkait duduk bersama menyelesaikan permasalahan ini sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Apalagi dalam hal ini yang paling dirugikan adalah anak-anak kita generasi penerus nagari, atau kalau memang diperlukan pihak wali nagari turun tangan untuk memfasilitasi dalam penyeselsaian permasalahan ini. Indak ado kusuik nan indak bisa disalasaikan indak ado karuah nan indak bisa dijaniahkan.
Pergeseran Arah Merantau Urang Saniangbaka
Marantau Bujang dahulu di kampuang paguno balun, nampaknya pepatah tersebut betul-betul dihayati oleh generasi muda Saningbaka. Sampai saat ini jumlah penduduk Saniangbaka yang berada diperantauan jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang berdomisili di kampuang. Kampuang semakin hari semakin lengang, dikarenakan begitu derasnya arus urbanisasi, terutama remaja pria yang beranjak dewasa. Mereka pergi merantau untuk mencoba meraih peruntungan dalam menggapai masa depan yang lebih baik. Sedangkan bagi remaja putri, mayoritas dari mereka yang pergi merantau dikarenakan mendapat jodoh pemuda perantau.
Kultur Saniangbaka yang menganggap tabu apabila laki-laki kawin dengan perempuan dari luar Saniangbaka merupakan salah satu faktor yang mendorong peningkatan jumlah perantau muda. Karena bagi mereka yang sudah berhasil di rantau dan punya keinginan untuk menikah, oleh orang tuanya akan dicarikan jodohnya di kampung. Kalau dikampung mereka-mereka ini diistilahkan dengan “bawang jawa”, karena memang pada umumnya warga Saniangbaka merantau ke Pulau Jawa.
Penyebaran perantau Saniangbaka boleh dikatakan tidak merata, mayoritas mereka terkonsentrasi di Pulau Jawa, sedangkan untuk daerah lain seperti di kota-kota besar yang ada di Sumatera,jumlah perantau kita tidak mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau dilihat dari peluang usaha yang biasanya dijadikan indikator untuk mendiami suatu daerah, Pulau Sumatera tidaklah kalah menjanjikan dibandingkan dengan Pulau Jawa. Kondisi ini sangat berbeda dengan perantau dari negeri “jiran”, Sulit Air, dimana penyebaran perantau mereka cukup merata pada setiap sudut kota-kota besar dan kecil yang ada di Sumatera maupun Jawa.
Jabotabek dan Bandung sampai saat ini masih menjadi primadona bagi urang awak dalam hal tujuan merantau, jumlah warga Saniangbaka di dua kota ini cukup banyak jumlahnya, pasar tradisional merupakan lahan utama tempat mereka berusaha mencari nafkah. Sangat mudah kita menemukan Saudara kita di pasar-pasar tradisional baik yang ada di pusat kota bahkan sampai ke pelosok sekalipun. Sebagian besar dari mereka mempunyai jenis usaha (galeh) yang seragam. Umumnya mereka manggaleh plastik dan jamu.
Ketidakmerataan penyebaran perantau kita sangat dipengaruhi oleh sifat mereka yang berduyun-duyun mencari tampek di suatu daerah apabila ada salah satu dari mereka yang berhasil disana, disamping pertambahan jumlah perantau dari tahun ke tahun. Akibatnya semakin mempersempit lahan untuk berjualan, sehingga tingkat persaingan semakin tinggi, lahan usaha semakin sulit untuk didapatkan, bahkan dibeberapa pasar jumlah mereka sudah sangat banyak dengan jenis usaha yang sama, seperti di Pasar Sederhana, Padalarang, Cimahi, Kosambi untuk daerah Bandung, Pasar Cakung, Klender, Mayestik, Kranji, Cibitung, Tambun untuk daerah Jabotabek.
Akhir-akhir ini terjadi pergeseran arah perantau Saniangbaka, banyak diantara mereka yang memindahkan usahanya ke kota lain. Kondisi ini banyak terjadi pada perantau yang ada di kota Bandung, mulai menipisnya peluang usaha di pasar-pasar tradisional, begitupun dengan usaha jamu yang akhir-akhir ini hanya mengandalkan minuman keras, ditambah lagi larangan berdagang kaki lima (yang selama ini menjadi alternatif), seperti larangan untuk berjualan di Jl. Gadawijaya Cimahi, membuat mereka mulai berfikir bagaimana mencari lahan baru untuk mencari peruntungan.
Semarang dan Jogjakarta (dan sekitarnya) merupakan daerah yang paling banyak dituju oleh perantau kita, terutama mereka yang berasal dari Bandung. Kedua daerah ini bukan daerah baru bagi perantau kita, karena sebelum ini warga Saniangbaka sudah lama dan banyak yang berdomisili disini. Akan tetapi jumlah mereka tidak mengalami pertambahan yang signifikan seperti yang terjadi di Jabotabek dan Bandung. Perkembangan yang begitu pesat justru terjadi dalam 5 tahun terakhir ini, seiring dengan terjadinya krisis seperti yang diceritakan diatas.
Kalau ditinjau dari segi jenis usaha para perantau yang pindah kedaerah Semarang dan Jogjakarta (dan sekitarnya) ini, terdapat perbedaan yang begitu mendasar. (1) Semarang dan sekitarnya, untuk daerah ini sebagian besar mereka yang pindah tersebut membuka usaha Jamu, mereka ini pada umumnya merupakan pindahan dari Bandung. Karena memang untuk Kota Bandung jumlah toko jamu yang ada jumlahnya cukup banyak, hampir setiap persimpangan dihiasi dengan lampu kuning Nyonya Meneer yang merupakan tanda bagi keberadaan toko jamu. Kondisi yang terjadi di Semarang ini sangat cocok, kalau kita kaitkan dengan sifat perantau kita yg cenderung “bagaduru” ketempat Saudara mereka yang berhasil di suatu daerah, dimana pada awalnya usaha jamu warga Saniangbaka ini dirintis oleh beberapa orang warga kita yang pindah dari Bandung. Setelah melihat keberhasilan mereka, perlahan-lahan warga kita yang berada di Bandung dan Jabotabek mulai berdatangan kedaerah ini. (2) Jogjakarta dan sekitarnya, kota ini sudah tidak asing lagi bagi urang awak, di kota yang dikenal dengan sebutan kota pelajar dan identik dengan Malioboro ini, para perantau kita terkenal dengan usaha rumah makan, rumah makan urang awak yang terkenal di kota ini adalah RM. Andalas, Duta Minang, dan banyak lainnya. Sesuai dengan pendahulunya mayoritas perantau kita yang akhir-akhir ini pindah ke kota ini membuka usaha rumah makan, baik dengan skala besar, maupun sekelas rumah makan keluarga. Walaupun ada yang membuka usaha lain seperti jamu dan plastik tapi jumlah mereka tidak begitu banyak dibandingkan dengan rumah makan.
Melihat fenomena dua daerah diatas tidak salah rasanya kalau kita simpulkan bahwa sampai saat ini pola perantau kita belum mengalami perubahan yang cukup berarti, mereka lebih cenderung mengikut para pendahulu mereka yang sudah berhasil di suatu daerah dan membuka jenis usaha yang sma, sehingga persaingan justru terjadi antar sesama mereka. Sehingga sangat terbuka peluang untuk terjadi gesekan-gesekan yang disebabkan oleh persaingan usaha.
Diperlukan adanya terobosan-terobosan baru dalam mencari peluang usaha dan memilih jenis usaha. Walaupun telah terjadi perpindahan yang cukup besar ke daerah baru, tapi kalau masih memakai pola lama kondisinya tidak akan jauh berbeda dengan sebelumnya (Bandung). Dimana mereka lebih cenderung berkelompok dengan jenis usaha yang sama. Kalau masih seperti ini keberadaan mereka tidak akan bertahan lama. Hingga mencapai titik jenuh, akan terjadi lagi perpindahan dalam jumlah yang cukup besar kedaerah yang baru, bahkan bisa saja terjadi mudik besar-besaran.
Kultur Saniangbaka yang menganggap tabu apabila laki-laki kawin dengan perempuan dari luar Saniangbaka merupakan salah satu faktor yang mendorong peningkatan jumlah perantau muda. Karena bagi mereka yang sudah berhasil di rantau dan punya keinginan untuk menikah, oleh orang tuanya akan dicarikan jodohnya di kampung. Kalau dikampung mereka-mereka ini diistilahkan dengan “bawang jawa”, karena memang pada umumnya warga Saniangbaka merantau ke Pulau Jawa.
Penyebaran perantau Saniangbaka boleh dikatakan tidak merata, mayoritas mereka terkonsentrasi di Pulau Jawa, sedangkan untuk daerah lain seperti di kota-kota besar yang ada di Sumatera,jumlah perantau kita tidak mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau dilihat dari peluang usaha yang biasanya dijadikan indikator untuk mendiami suatu daerah, Pulau Sumatera tidaklah kalah menjanjikan dibandingkan dengan Pulau Jawa. Kondisi ini sangat berbeda dengan perantau dari negeri “jiran”, Sulit Air, dimana penyebaran perantau mereka cukup merata pada setiap sudut kota-kota besar dan kecil yang ada di Sumatera maupun Jawa.
Jabotabek dan Bandung sampai saat ini masih menjadi primadona bagi urang awak dalam hal tujuan merantau, jumlah warga Saniangbaka di dua kota ini cukup banyak jumlahnya, pasar tradisional merupakan lahan utama tempat mereka berusaha mencari nafkah. Sangat mudah kita menemukan Saudara kita di pasar-pasar tradisional baik yang ada di pusat kota bahkan sampai ke pelosok sekalipun. Sebagian besar dari mereka mempunyai jenis usaha (galeh) yang seragam. Umumnya mereka manggaleh plastik dan jamu.
Ketidakmerataan penyebaran perantau kita sangat dipengaruhi oleh sifat mereka yang berduyun-duyun mencari tampek di suatu daerah apabila ada salah satu dari mereka yang berhasil disana, disamping pertambahan jumlah perantau dari tahun ke tahun. Akibatnya semakin mempersempit lahan untuk berjualan, sehingga tingkat persaingan semakin tinggi, lahan usaha semakin sulit untuk didapatkan, bahkan dibeberapa pasar jumlah mereka sudah sangat banyak dengan jenis usaha yang sama, seperti di Pasar Sederhana, Padalarang, Cimahi, Kosambi untuk daerah Bandung, Pasar Cakung, Klender, Mayestik, Kranji, Cibitung, Tambun untuk daerah Jabotabek.
Akhir-akhir ini terjadi pergeseran arah perantau Saniangbaka, banyak diantara mereka yang memindahkan usahanya ke kota lain. Kondisi ini banyak terjadi pada perantau yang ada di kota Bandung, mulai menipisnya peluang usaha di pasar-pasar tradisional, begitupun dengan usaha jamu yang akhir-akhir ini hanya mengandalkan minuman keras, ditambah lagi larangan berdagang kaki lima (yang selama ini menjadi alternatif), seperti larangan untuk berjualan di Jl. Gadawijaya Cimahi, membuat mereka mulai berfikir bagaimana mencari lahan baru untuk mencari peruntungan.
Semarang dan Jogjakarta (dan sekitarnya) merupakan daerah yang paling banyak dituju oleh perantau kita, terutama mereka yang berasal dari Bandung. Kedua daerah ini bukan daerah baru bagi perantau kita, karena sebelum ini warga Saniangbaka sudah lama dan banyak yang berdomisili disini. Akan tetapi jumlah mereka tidak mengalami pertambahan yang signifikan seperti yang terjadi di Jabotabek dan Bandung. Perkembangan yang begitu pesat justru terjadi dalam 5 tahun terakhir ini, seiring dengan terjadinya krisis seperti yang diceritakan diatas.
Kalau ditinjau dari segi jenis usaha para perantau yang pindah kedaerah Semarang dan Jogjakarta (dan sekitarnya) ini, terdapat perbedaan yang begitu mendasar. (1) Semarang dan sekitarnya, untuk daerah ini sebagian besar mereka yang pindah tersebut membuka usaha Jamu, mereka ini pada umumnya merupakan pindahan dari Bandung. Karena memang untuk Kota Bandung jumlah toko jamu yang ada jumlahnya cukup banyak, hampir setiap persimpangan dihiasi dengan lampu kuning Nyonya Meneer yang merupakan tanda bagi keberadaan toko jamu. Kondisi yang terjadi di Semarang ini sangat cocok, kalau kita kaitkan dengan sifat perantau kita yg cenderung “bagaduru” ketempat Saudara mereka yang berhasil di suatu daerah, dimana pada awalnya usaha jamu warga Saniangbaka ini dirintis oleh beberapa orang warga kita yang pindah dari Bandung. Setelah melihat keberhasilan mereka, perlahan-lahan warga kita yang berada di Bandung dan Jabotabek mulai berdatangan kedaerah ini. (2) Jogjakarta dan sekitarnya, kota ini sudah tidak asing lagi bagi urang awak, di kota yang dikenal dengan sebutan kota pelajar dan identik dengan Malioboro ini, para perantau kita terkenal dengan usaha rumah makan, rumah makan urang awak yang terkenal di kota ini adalah RM. Andalas, Duta Minang, dan banyak lainnya. Sesuai dengan pendahulunya mayoritas perantau kita yang akhir-akhir ini pindah ke kota ini membuka usaha rumah makan, baik dengan skala besar, maupun sekelas rumah makan keluarga. Walaupun ada yang membuka usaha lain seperti jamu dan plastik tapi jumlah mereka tidak begitu banyak dibandingkan dengan rumah makan.
Melihat fenomena dua daerah diatas tidak salah rasanya kalau kita simpulkan bahwa sampai saat ini pola perantau kita belum mengalami perubahan yang cukup berarti, mereka lebih cenderung mengikut para pendahulu mereka yang sudah berhasil di suatu daerah dan membuka jenis usaha yang sma, sehingga persaingan justru terjadi antar sesama mereka. Sehingga sangat terbuka peluang untuk terjadi gesekan-gesekan yang disebabkan oleh persaingan usaha.
Diperlukan adanya terobosan-terobosan baru dalam mencari peluang usaha dan memilih jenis usaha. Walaupun telah terjadi perpindahan yang cukup besar ke daerah baru, tapi kalau masih memakai pola lama kondisinya tidak akan jauh berbeda dengan sebelumnya (Bandung). Dimana mereka lebih cenderung berkelompok dengan jenis usaha yang sama. Kalau masih seperti ini keberadaan mereka tidak akan bertahan lama. Hingga mencapai titik jenuh, akan terjadi lagi perpindahan dalam jumlah yang cukup besar kedaerah yang baru, bahkan bisa saja terjadi mudik besar-besaran.
Subscribe to:
Posts (Atom)